MEDAN (Waspada.id): Temuan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap adanya kelemahan mendasar dalam Sistem Pengendalian Internal (SPI) PT Bank Sumut.
Dalam LHP BPK Nomor 97/LHP/VIII.MDN/12/2023 tanggal 28 Desember 2023, auditor menemukan adanya kredit yang tidak dapat tertagih senilai Rp15,34 miliar, terdiri atas baki debet sebesar Rp15,3 miliar dan tunggakan bunga sebesar Rp36,9 juta.
Berdasarkan pemeriksaan atas Tahun Buku 2022, BPK juga menemukan bahwa PT Bank Sumut menerima dan menyetujui permohonan restrukturisasi Kredit Umum (KU) dan Kredit Angsuran Lainnya (KAL) dari debitur atas nama PT MIM beserta grup usahanya, yaitu PT RPM dan KPS RJ, melalui Kantor Cabang Tebingtinggi.
Selain itu, terdapat dugaan kredit macet pada fasilitas Kredit Modal Kerja (KMK) senilai Rp23 miliar milik PT Pangripta, yang berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara sejak tahun 1994 dan hingga kini belum dikembalikan.
Kasus ini telah memasuki tahap analisis dan telaah di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara.
Kasus korupsi juga menjerat LPL, yang terjadi saat ia menangani proses pencairan kredit modal usaha atas nama debitur CV HA Group di PT Bank Sumut pada tahun 2012, dengan nilai kredit sebesar Rp2,2 miliar.
Buruknya manajemen internal PT Bank Sumut kembali menjadi sorotan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Medan, yang terungkap dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi terkait kredit macet di Kantor Cabang Pembantu (KCP) Melati Medan.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan pemeriksaan atas efektivitas Sistem Pengendalian Internal (SPI) PT Bank Sumut dengan mengacu pada kerangka COSO serta Surat Edaran OJK No. 35/SEOJK.03/2017.
Hasil pemeriksaan BPK menemukan sejumlah kelemahan mendasar yang berpotensi menimbulkan kerugian di PT Bank Sumut, berdampak pada kerugian keuangan daerah, serta menurunkan kepercayaan publik terhadap bank milik Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan pemerintah kabupaten kota se Sumut tersebut.
Hal itu disampaikan pengamat anggaran dan kebijakan publik, Elfenda Ananda kepada Waspada.id di Medan, Senin (11/11/2025) malam.
Diketahui bahwa pemilik utama Bank Sumut adalah pemerintah daerah melalui mekanisme penyertaan modal daerah (PMD).
Karena itu, kata Elfenda, permasalahan kredit macet di Bank Sumut secara langsung akan memengaruhi penerimaan dividen yang menjadi salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi pemerintah kabupaten/kota dan provinsi di Sumatera Utara.
“Kita tahu banyak kabupaten Kota memarkir uangnya salah satunya di Bank Sumut dalam bentuk penyertaan modal,” ucapnya.
Kelemahan SPI yang teridentifikasi menunjukkan rendahnya efektivitas tata kelola risiko, lemahnya budaya pengendalian, serta tidak optimalnya dukungan sistem informasi.
Secara keseluruhan, kata Elfenda, hal ini berpotensi mengancam stabilitas keuangan dan reputasi Bank Sumut sebagai salah satu BUMD strategis daerah di provinsi Sumatera Utara.
“Harusnya ini tidak perlu terjadi apabila kelemahan SPI dapat ditutupi dengan berbenah,” tegasnya.
Walaupun PT Bank Sumatera Utara (Bank Sumut) dalam laporan tahun 2025 melaporkan kinerja keuangan yang solid di tengah perlambatan ekonomi nasional.
Hingga akhir September 2025, total aset Bank Sumut tercatat sebesar Rp47 triliun, tumbuh 7,58% (YoY) dari tahun sebelumnya sebesar Rp43,6 triliun.
Dengan capaian ini, Bank Sumut menegaskan posisinya di peringkat keenam Bank Pembangunan Daerah (BPD) di Indonesia, sekaligus mencerminkan tingginya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja perseroan.
Elfenda menegaskan berbagai kasus kredit macet yang muncul menjadi bukti nyata dari lemahnya sistem pengendalian internal, meskipun pihak Bank Sumut telah berupaya memperkuat komitmen terhadap Good Corporate Governance (GCG) dan mitigasi risiko hukum.
Salah satu langkah yang dilakukan adalah penandatanganan pembaruan Nota Kesepahaman (MoU) dengan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara di Aula Kejati Sumut, Jalan A.H. Nasution, Medan, pada Kamis (23/10/2025).
Kerja sama ini merupakan bagian dari strategi sinergi kelembagaan dengan aparat penegak hukum untuk memastikan setiap kegiatan operasional perbankan berjalan sesuai koridor hukum dan prinsip kehati-hatian.
“Kerja sama ini bukan hanya sebagai kegiatan seremonial semata, seharusnya dengan kerjasama ini dapat menekan besaran jumlah kredit macet dan resiko,” harapnya.
Namun demikian, kata Elfenda, masih terdapat celah kelemahan dalam implementasi SPI di lapangan.
“Walaupun sistem telah dirancang dengan baik, pelaksanaannya belum efektif dan belum memadai untuk menjamin pengendalian risiko kredit serta pencapaian tujuan pengendalian internal,” cetusnya.
Dalam temuan BPK, terungkap bahwa meskipun proses pemberian kredit telah melalui analisis risiko dari Divisi Manajemen Risiko, hasil analisis tersebut belum dijadikan acuan utama oleh Divisi Kredit, Ritel, dan Kantor Cabang.
Akibatnya, kata Elfenda, penyaluran kredit sering dilakukan tanpa dasar analisis risiko yang memadai. Selain itu, terdapat indikasi intervensi, termasuk intervensi politik, dalam sejumlah kasus pemberian kredit, seperti kasus yang melibatkan oknum anggota dewan.
Salah satu kasus yang mencuat adalah skandal kredit bermasalah Bank Sumut senilai Rp192 miliar, di mana kerugian besar terjadi namun hanya debitur yang dijatuhi hukuman.
“Deretan kasus kredit macet yang mencuat sejak 2017 hingga 2025 menimbulkan pertanyaan serius mengenai integritas sistem perbankan daerah, karena penegakan hukum kerap dinilai tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas,” ungkapnya.
Oleh karena itu, sebut Elfenda, Bank Sumut seharusnya segera melakukan evaluasi menyeluruh dan melaksanakan rekomendasi BPK, antara lain dengan:
- Memperbaiki kelemahan tata kelola dan menyesuaikan seluruh kebijakan internal dengan SE OJK No. 35/2017.
- Meningkatkan kompetensi pegawai, termasuk melalui sertifikasi risiko dan pelatihan pengelolaan kredit.
- Mengintegrasikan sistem informasi dan basis data kredit agar keputusan kredit berbasis data yang akurat.
- Memperkuat fungsi pengawasan internal dengan menerapkan four eyes principle secara konsisten.
- Menindaklanjuti seluruh rekomendasi audit sebelumnya untuk mencegah berulangnya temuan dan meminimalkan risiko kredit bermasalah di masa mendatang.
Perbaikan menyeluruh diperlukan untuk mencegah risiko keuangan, meningkatkan akuntabilitas, dan memulihkan kepercayaan publik.
Implementasi rekomendasi harus menjadi komitmen bersama antara manajemen Bank Sumut, Dewan Komisaris, dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara selaku pemegang saham pengendali.
“Jangan sampai rekomendasi hanya menjadi sebuah catatan tanpa dapat diimplementasikan,” tutup Elfenda, peneliti di Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran ini.
Juru Bicara/Humas Bank Sumut, Jalaluddin Ibrahim yang dihubungi Waspada.id sejak Senin (10/11/2025) hingga berita ini diturunkan belum bisa memberikan komentar. “Masih menunggu arahan dan persetujuan pimpinan,” cetusnya.(id96)












