MEDAN (Waspada.id): Dugaan kelebihan penguasaan lahan oleh PT Socfindo dinilai bukan lagi persoalan agraria biasa, melainkan telah masuk ke ranah hukum serius yang menyangkut keadilan publik dan potensi kerugian negara.
Wasekjen Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI), Alwi Hasbi Silalahi, menegaskan Kejaksaan harus segera turun tangan mengusut dugaan tersebut secara menyeluruh.
Alwi merujuk pada pernyataan Anggota DPD RI asal Sumatera Utara, Penrad Siagian, yang menyebut adanya dugaan kelebihan penguasaan lahan sekitar 683 hektare oleh PT Socfindo di wilayah Kebun Lima Puluh dan Tanah Gambus, Kabupaten Batubara.
Kawasan tersebut selama puluhan tahun juga menjadi sumber konflik horizontal dengan masyarakat Desa Simpang Gambus.
“Jika benar ada kelebihan penguasaan lahan hingga ratusan hektare, ini bukan masalah kecil. Ini persoalan hukum yang menyangkut hak masyarakat, tata kelola pertanahan, dan potensi kerugian negara,” ujar Alwi dalam keterangannya, yang diterima Waspada.id, di Medan, Jumat (26/12).
Menurut Alwi, sertipikat Hak Guna Usaha (HGU) PT Socfindo yang diterbitkan sejak tahun 1998 menguatkan dugaan bahwa kelebihan penguasaan lahan tersebut telah berlangsung lama dan dibiarkan tanpa penyelesaian yang jelas. Kondisi ini, kata dia, menimbulkan pertanyaan serius terkait pengawasan negara.
“Pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana status pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas lahan yang diduga berada di luar luasan resmi HGU itu. Apakah pajaknya dibayarkan atau tidak? Jika tidak, maka negara berpotensi mengalami kebocoran penerimaan selama bertahun-tahun,” tegasnya.
Alwi menilai, dugaan ini juga membuka kemungkinan adanya persoalan serupa di unit-unit perkebunan PT Socfindo lainnya. Diketahui, perusahaan tersebut beroperasi tidak hanya di Kabupaten Batubara, tetapi juga di Serdang Bedagai, Asahan, Labuhanbatu, Labuhanbatu Utara, serta sejumlah wilayah di Aceh seperti Aceh Singkil, Nagan Raya, dan Aceh Tamiang.
“Oleh karena itu, persoalan ini tidak boleh ditangani secara parsial. Harus ada pemeriksaan menyeluruh terhadap seluruh wilayah operasional Socfindo, termasuk kewajiban perpajakannya di masing-masing daerah,” katanya.
PB HMI, lanjut Alwi, memandang Kejaksaan memiliki kewenangan strategis untuk menelusuri dugaan pelanggaran yang berdampak pada keuangan negara.
Penyelidikan tidak hanya perlu diarahkan kepada PT Socfindo sebagai pemegang HGU, tetapi juga terhadap otoritas terkait, termasuk instansi pertanahan dan kantor pajak.
“Kejaksaan harus memeriksa apakah ada kelalaian, pembiaran, atau bahkan dugaan pelanggaran hukum oleh pihak-pihak yang seharusnya melakukan pengawasan. Ini penting demi menjaga integritas tata kelola pertanahan dan perpajakan,” ujarnya.
Alwi juga menyinggung fakta historis bahwa PT Socfindo telah mengelola lahan sejak masa kolonial. Menurutnya, setelah Indonesia merdeka, seharusnya seluruh penguasaan dan pemanfaatan lahan dipastikan sesuai dengan hukum nasional dan berpihak pada kepentingan rakyat.
“Kasus ini menyangkut keadilan agraria, kepastian hukum, dan kedaulatan negara atas sumber daya agraria. Karena itu, pemeriksaan menyeluruh oleh aparat penegak hukum bukan hanya penting, tetapi mendesak untuk dilakukan,” pungkas Alwi Hasbi Silalahi.
Sebelumnya, pihak Socfindo seperti dikutip media, menyebutkan bahwa perbedaan luas lahan yang muncul diakibatkan oleh metode pengukuran yang lebih akurat dan tidak ada perubahan batas lahan atau penyerobotan tanah masyarakat. Perusahaan menegaskan semua prosedur dilakukan di bawah pengawasan BPN. (id06)










