MEDAN (Waspada.id): Sidang suap proyek jalan Hutaimbaru – Sipiongot, Kab. Paluta di Pengadilan Negeri Medan, Rabu (1/10/2025), terjadi perdebatan tajam antara Hakim Khamozaro dan Effendy Pohan soal legalitas dan prosedur pergeseran anggaran yang dinilai janggal.
Pengamat anggaran dan kebijakan publik, Elfenda Ananda mengatakan, jika ditelusuri lebih jauh dasar menimbang dari pergub pergeseran juga mengada-ada karena disebutkan ada situasi yang mendesak, darurat dan tidak terduga. Besaran belanja modal jalan awalnya Rp669 miliar meningkat siqnifikan menjadi Rp1,36 triliun.
“Soal pergeseran anggaran di Sumut membuka borok tata kelola yang semrawut,” ucap Elfenda kepada Waspada.id, Kamis (2/10/2025) pagi.
Peneliti dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Sumatera Utara ini menyebut, pengakuan Effendy Pohan sebagai Pj Sekda dalam sidang, mengatakan bahwa rapat TAPD tidak pernah kuorum, namun tetap melahirkan keputusan miliaran rupiah.
Walaupun kita tahu, kata Elfenda, tidak ada aturan membuat keputusan anggaran dalam Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) harus ada ketentuan kuorum. Lebih parah lagi, anggaran Rp200 miliar lebih bisa muncul tanpa dokumen pendukung yang lengkap.
“Ini bukan sekadar kelalaian, melainkan indikasi kuat adanya praktik manipulasi di ruang pengambilan keputusan anggaran,” ungkapnya.
Dalam sidang tersebut, lanjut Elfenda, Hakim Khamozaro dengan tajam membongkar kejanggalan itu, proyek sudah dilelang bahkan pemenang tender ditentukan sebelum dokumen resmi tayang.
“Fakta ini menunjukkan bahwa birokrasi anggaran di Sumut tidak berjalan berdasarkan aturan, melainkan pesanan,” tegas Elfenda.
“Jika benar Ketua TAPD hanyalah “stempel” dan keputusan sesungguhnya datang dari pimpinan, maka publik berhak curiga bahwa ada permainan politik anggaran di level tertinggi,” ujarnya.
Elfenda pun menyebut dalam perencanaan siklus anggaran usulan proyek terlebih dahulu diverifikasi selanjutnya masuk dalam RKA SKPD untuk disetujui dalam dokumen dan bila sudah disetujui kemudian tahapan selanjutnya dilelang.
“Bukan sebaliknya proyek sudah dilelang bahkan pemenang tender ditentukan sebelum dokumen resmi tayang,” ucapnya.
Dalam hal ini, kata Elfenda, akal-akalan pembuat kebijakan sangat jelas terhadap kasus ini dengan mengkondisikan situasi mendesak, darurat dan tidak terduga agar proses proses penganggaran bisa diakali tanpa mematuhi aturan yang berlaku.
Sesuai Peraturan Pemerintah No.12 Tahun 2019, kepala daerah adalah pemegang penuh kekuasaan pengelolaan keuangan daerah.
Wewenang itu mencakup penyusunan hingga pengesahan APBD bersama DPRD, menetapkan kebijakan keuangan daerah, serta mengambil langkah darurat demi kepentingan masyarakat.
Dalam melaksanakan kekuasaan tersebut, kepala daerah melimpahkan kekuasaan dimaksud kepada sekda sebagai koordinator pengelolaan keuangan daerah.
Tugas utama Sekda mencakup mengawal perencanaan, penyusunan, perubahan, hingga pertanggungjawaban APBD, memberi persetujuan atas Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) Satuan Kerja Perangkat daerah (SKPD), memimpin TAPD serta memastikan seluruh proses sesuai regulasi.
“Tanggung jawab atas setiap pergeseran anggaran maupun keputusan strategis keuangan daerah sejatinya berada di tangan kepala daerah, bukan sekadar birokrat teknis di bawahnya,” jelas Elfenda.
Elfenda pun menyebut, Pj Sekda yang terkesan tidak tahu dan berbelit-belit dalam memberikan keterangan pada hakim. Dalam hal ini, terkesan Effendy Pohan tidak memahami tugasnya, atau ada hal yang disembunyikan atau dilindungi.
Seharusnya, hakim mengejar kewenangan sekda sesuai aturan dimana sekda menerima perintah dan kewenangan dari gubernur sesuai PP No.12 tahun 2019 tentang pengelolaan keuangan daerah.
Kasus korupsi jalan Sumut ini bukan hanya soal kesalahan teknis, tetapi soal tata kelola keuangan daerah dimana ada kepentingan elit memaksakan proyek ini dimunculkan demi kepentingan segelintir pihak.
‘KPK harus berani menelusuri akar masalah hingga ke pucuk pimpinan, karena tanpa keberanian itu, Sumut akan terus terjebak dalam lingkaran anggaran fiktif, tender pesanan, dan janji pembangunan yang hanya jadi komoditas politik,” ungkapnya.(id96)