MEDAN (Waspada.id): Reformasi hukum acara pidana di Indonesia memasuki fase penting dengan hadirnya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) 2025 yang akan menggantikan KUHAP 1981.
Isu perlindungan terhadap perempuan dan anak sebagai kelompok rentan menjadi salah satu fokus utama pembahasan dalam Konferensi Nasional “Jaminan Perlindungan Hak Perempuan dan Anak dalam RKUHAP 2025”, yang digelar di Gedung Peradilan Semu, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), Selasa (23/9).
Kegiatan ini digagas oleh Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi (ASPERHUPIKI), Fakultas Hukum USU, Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), serta Persada Academy. Konferensi menghadirkan akademisi, praktisi hukum, pembuat kebijakan, hingga organisasi masyarakat sipil untuk membahas sejauh mana RKUHAP 2025 mampu menjawab kebutuhan kelompok rentan dalam proses peradilan pidana.
Direktur Eksekutif PKPA, Keumala Dewi, menegaskan perlunya forum seperti ini agar hukum acara pidana tidak sekadar menjadi aturan prosedural, melainkan juga memberikan perlindungan nyata.
“Anak-anak dari keluarga survivor sering kehilangan hak-hak dasar akibat proses hukum yang dijalani orang tuanya. Sayangnya, kondisi itu tidak diiringi dengan pengasuhan alternatif maupun pemenuhan hak anak. Karena itu, kami mendorong agar forum ini juga memperkuat sistem perlindungan anak,” ujarnya.
Senada dengan itu, Dekan Fakultas Hukum USU, Dr. Mahmul, S.H., M.Hum., menekankan bahwa hukum harus memanusiakan manusia. “Kegiatan ini penting sebagai ruang diskusi untuk merumuskan rekomendasi agar hukum di Indonesia lebih adil, humanis, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat, khususnya kelompok rentan,” ucapnya.
Konferensi juga diwarnai dengan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara ASPERHUPIKI, Fakultas Hukum USU, PKPA Indonesia, dan Persada Academy sebagai komitmen bersama memperkuat perlindungan perempuan dan anak dalam sistem hukum acara pidana.
Dalam keynote speech-nya, Ketua Umum ASPERHUPIKI, Fachrizal Afandi, Ph.D., menekankan bahwa RKUHAP harus menjadi jawaban atas kerentanan perempuan dan anak yang selama ini masih terpinggirkan dalam sistem hukum pidana. Sementara itu, pakar hukum pidana Dr. Beniharmoni Harefa mengingatkan perlunya penyempurnaan RKUHAP, terutama dalam penguatan prinsip restorative justice.
Sejumlah narasumber lain juga memberi masukan kritis. Dr. Nathalina Naibaho menyoroti pentingnya sinkronisasi regulasi agar perlindungan perempuan dan anak tidak sekadar jargon. Dr. Mahmud Mulyadi menekankan adanya hambatan regulasi dan budaya hukum yang harus diatasi, sementara Dr. Marlina menutup sesi dengan gagasan penerapan diversi dan keadilan restoratif agar sistem hukum tidak melulu menekankan penghukuman.
Selain diskusi panel, konferensi ini juga menghadirkan Kompetisi Call for Poster sebagai ruang advokasi visual untuk menyuarakan isu perlindungan kelompok rentan, sekaligus mendorong partisipasi generasi muda dalam pembangunan hukum yang inklusif.
Konferensi Nasional ini diharapkan menghasilkan rekomendasi penting untuk memperkuat RKUHAP 2025 agar lebih responsif terhadap kebutuhan korban, khususnya perempuan dan anak, serta mendorong terwujudnya sistem peradilan pidana yang berkeadilan, humanis, dan bebas diskriminasi.(id23)