MEDAN (Waspada.id): Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membantah pernyataan yang menyebut bahwa lembaga antirasuah itu tidak menemukan peran Gubernur Bobby Nasution dalam kasus suap proyek jalan di Sumut.
‘’Bukan tidak, tapi belum,’’ tegas Juru Bicara (Jubir) KPK, Budi Prasetyo kepada Waspada.id, Kamis (6/11/2025).
Memang, kata Jubir Budi, sampai saat ini KPK belum menemukan peran Bobby Nasution. Penyidik belum menemukan kaitan kasus tersebut dengan Bobby Nasution.
Budi pun menyebut penyidikan masih berjalan. ‘’Penyidik dan kepala satuan tugas penyidiknya mengatakan memang belum menemukan bukti keterlibatan Bobby. Enggak ada intervensi. Penyidikan masih berjalan,’’ cetusnya.
Begitu juga dengan Rektor USU Muryanto Amin dan sepupu Bobby, Dedy Iskandar Rangkuti yang masih belum memenuhi panggilan KPK sebagai saksi kasus suap jalan di Sumut. ‘’Penyidikan masih berjalan. Enggak ada intervensi,’’ cetusnya lagi.
Seperti diketahui, kasus korupsi jalan di Sumut itu telah menetapkan lima orang sebagai tersangka yaitu, Kepala Dinas PUPR Sumatera Utara, Topan Obaja Putra Ginting, Kepala UPTD Gunung Tua Dinas PUPR sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen, Rasuli Efendi Siregar, Pejabat Pembuat Komitmen di Satuan Kerja PJN Wilayah I Sumatera Utara, Heliyanto.
Sementara dua lagi yakni, Direktur Utama PT Dalihan Na Tolu Grup, Muhammad Akhirun Piliang alias H. Kirun telah dituntut 3 tahun penjara, sementara Rayhan Dulasmi Piliang dituntut 2 tahun 6 bulan penjara.
Tuntutan jaksa KPK kepada Kirun dan Rayhan dalam sidang Pengadilan Tipikor Medan, Rabu (5/11/2025) itu, terasa janggal jika dibandingkan dengan besarnya nilai suap, sekitar Rp4 miliar, serta proyek-proyek yang diperebutkan senilai ratusan miliar rupiah.
‘’Angka sekecil itu sulit disebut hukuman yang setimpal. Hukuman ringan semacam ini menimbulkan kesan lemahnya komitmen moral dalam menghadapi kejahatan yang secara struktural merusak sendi negara,’’ tegas Anggota Komisi Yudisial (KY) periode 2015-2020, Assoc Prof. Dr. Farid Wajdi, SH, MHum ditanya Waspada.id, Rabu sore.
Farid pun menyebut hukuman ringan dalam perkara semacam ini tidak semata menyangkut teknis penuntutan, melainkan mencerminkan menurunnya sensitivitas moral penegakan hukum terhadap bahaya korupsi.
‘’Ketika ancaman pidana hanya sebatas formalitas, pesan yang sampai kepada publik menjadi berbahaya. Korupsi masih bisa dinegosiasikan,’’ ungkapnya.(id96)













