MEDAN (Waspada): Sejumlah kalangan, mulai dari pegiat antikorupsi dan anggota DPRD Sumut mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk turun tangan mengusut revitalisasi Lapangan Merdeka Medan senilai Rp 497 miliar lebih, yang diduga penuh kejanggalan, dan berbau korupsi.
Hal ini dikatakan Ketua Aliansi Pemuda dan Mahasiswa Peduli Memajukan Sumut (APMPEMUS), Iqbal, Direktur Eksekutif LIPPSU Azhari AM Sinik, dan anggota DPRD Sumut Ebenejer Sitorus kepada Waspada ketika ditemui terpisah, Rabu (16/7) dan Kamis (17/7).
Menurut Ketua APMPEMUS Iqbal, proyek prestisius semasa di bawah Walikota Medan Bobby Nasution ketika itu, dikerjakan dalam dua tahap anggaran semasa tahun anggaran 2021-2024. Tahap I bersumber dari Bantuan Daerah Bawahan atau BDB Provinsi Sumut di masa Gubernur Edy Rahmayadi kepada Pemko Medan senilai Rp99 miliar. Sedangkan tahap II senilai Rp497 miliar bersumber dari APBD Kota Medan.
Namun kawasan landmark bersejarah Kota Medan seluas 4,88 hektare ini dan lekat dengan sejarah Kota Medan sejak era kolonial, bukan hanya telah berganti kulit, tetapi jadi tanda tanya besar bahkan terkesan tak jelas warnanya lagi.
Selain itu, terdapat 11 anggaran berkaitan dengan Lapangan Merdeka, tapi ujung-ujungnya seperti terlihat seperti kawasan yang sepi, terutama malam hari, tempat mojok remaja bahkan ada yang buang air sembarangan.
“Katanya mengembalikan fungsi cagar budaya, dengan rencana revitalisasi Lapangan Merdeka, tapi kita lihat sekarang setelah selesai pun, fungsi-fungsi warisan budaya tidak terlihat sama sekali, kecuali panggung beton yang mirip panggung, namun tak ada pengunjungnya,” ujarnya.
Dengan kondisi itu, Iqbal melihat penggelontoran anggaran seperti mubazir, terbuang percuma dan tidak seperti harapan kebanyakan masyarakat.
“Ini anggarannya sangat besar, tidak tertutup kemungkinan adanya kong-kali kong dan dugaan korupsi yang harus diusut, mulai dari proses tender hingga pelaksanaan kegiatan. Dan ingat, proyek ini peletakan batu pertamanya dilakukan Presiden ke-7 Joko Widodo, yang tak lain mertua Bobby Nasution, sekarang Gubsu,” tegasnya.
Rekam Jejak Merah
Selain mubazir, Direktur Eksekutif LIPPSU Azhari AM Sinik, mengatakan, proyek yang bakal jadi “ikon” baru Kota Medan, seperti tak puas ingin disedot para pelaku kejahatan.
Sebut saja, PT Lince Romauli Raya (LRR) selaku pelaksana kegiatan tercatat sepanjang 2014-2024 memenangkan 27 tender, dengan nilai tender mencapai triliunan rupiah.
Namun berdasarkan informasi, PT LRR mempunyai rekam jejak merah dalam menjadi penyedia PBJ.
Perusahaan ini pernah menjadi penyedia pengadaan pengerukan alur pelayaran Sungai Batanghari Pelabuhan Talang Hulu, Jambi. Proyek pengerukan senilai Rp 7,781 miliar tersebut terbukti tidak selesai sesuai kontrak dan menyebabkan kerugian negara Rp 5,3 miliar.
Proyek Kementerian Perhubungan tersebut direncanakan selesai dengan masa kerja 90 hari, yaitu mulai 19 Agustus sampai 16 November 2011. Masa kerja kemudian diperpanjang selama 25 hari, hingga 15 Desember 2011. Namun meski sudah diperpanjang, pekerjaan tersebut belum tuntas.
“Ini saya yakini semuanya bermasalah, termasuk revilalisasi Lapangan Merdeka, dengan melibatkan para pihak, di antaranya ESL, yang ketika itu menjabat sebagai Kepala Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Medan,” kata Ari Sinik.
Hal itu dibuktikan dengan pemanggilan PT LRR ESL itu untuk meminta keterangan terkait dugaan keterlibatan ESL sebagaimana panggilan polisi nomor surat Polrestabes Medan B /4403/IV/Res 33/Reskrim yang ditandatangani oleh Kasatreskrim Kompol Jama K Purba pada tanggal 1 April 2024.
Surat ini ditujukan kepada Project Manager PT LRR GRI, BPN dan KSO untuk diperiksa pada Rabu, 17 April 2024. Surat panggilan pemeriksaan tersebut ditembuskan kepada Kapolda Sumut, Direskrimsus Polda Sumut, Kabid Propam Polda Sumut dan Kapolrestabes Medan.
“Faktanya apa? Kita melihat sepertinya ada orang kuat di belakang layar, saya tidak dapat memungkiri ya, atasan ESL, karena hingga kini jangankan saya, publik saya belum mengetahui hasil pemeriksaan kasus tersebut,” ujarnya.
LIPPSU melihat ada kemungkinan yang patut ditelusuri aparat penegak hukum kaitan dua pihak itu, dengan tidak beresnya revitalisasi Lapangan Merdeka. “Itu belum lama soal gugat menggugat antara Pemko Medan dengan pihak yang tidak setuju revitalisasi itu,” katanya.
Citizen Lawsuit
Adapun penggugat yang tergabung dalam KMS Medan kemudian kembali mendaftarkan citizen lawsuit ke Pengadilan Negeri Medan pada 3 Juli 2023.
Menurut KMS Medan, pelaksanaan Revitalisasi Lapangan Merdeka Medan tidak sesuai dengan tujuan mempertahankan nilai sejarah, nilai budaya, dan ruang terbuka hijau.
Tergugat dari gugatan ini, yaitu Wali Kota Medan (tergugat 1) dan Ketua DPRD Kota Medan (tergugat 2). Gugatan ini didaftarkan setelah pemberitahuan atau notifikasi gugatan yang dilayangkan pada 6 April 2023 tidak direspon oleh pemerintah Kota Medan dan juga DPRD Kota Medan. Gugatan warga ini masih terus bergulir.
Dengan kondisi yang carut marut itu, anggota DPRD Sumut Ebenejer Sitorus pun angkat bicara. Kepada Waspada hari Rabu (16/7), wakil rakyat dari Partai Hanura itu, menegaskan sikapnya untuk tidak boleh mendiamkan praktik korupsi di Indonesia.
“Reviltalisasi Lapangan Merdeka itu pake anggaran besar, tapi sekarang penuh tanda tanya. Banyak masyakat yang protes, ini ada sesuatu yang perlu kita ketahui. Kalau sudah cukup alat bukti, aparat penegak hukum harus turun tangan, itu pesan saya,” katanya.
Baik Ebenejer, Ketua APMPEMUS, Iqbal, Direktur Eksekutif LIPPSU Azhari AM Sinik, sepakat revitalisasi Lapangan Merdeka ini harus diusut tuntas.
LIPPSU meyakini ini sudah diendus KPK, namun LIPPSU mendesak komisi antirasuah itu melakukan operasi tangkap tangan (OTT) jilid dua.
“Kalau pertama di PUPR, sekarang harus geledah kantor Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Medan, dan kontraktornya, agar barang bukti yang ada di sana tidak dihilangkan oknum tidak bertanggungjawab,” katanya.
“LIPPSU mencium ada kaitan antara revitalisasi Lapangan Merdeka dengan proyek lainnya di bawah komando orang nomor 1 di Sumut, yang jika digabungkan akan mengarah pada dugaan tindak pidana korupsi berjamaah, berulang-ulang dan seperti tak mengenal kata tobat — apalagi takut,” pungkas Ari Sinik. (tim)