Scroll Untuk Membaca

Medan

KPK: Menuju Jantung Kekuasaan Atau Terkunci Di Tepi?

KPK: Menuju Jantung Kekuasaan Atau Terkunci Di Tepi?
Farid Wajdi. Waspada.id
Kecil Besar
14px

MEDAN (Waspada): Farid Wajdi Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020,menyoroti kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) pada Selasa (22/7). Ia menyerahkan KPK: menuju jantung atau terkunci di tepi.

Dijabarkanbya, kisah korupsi proyek jalan di Sumatera Utara bukan sekadar perkara hukum. Ia telah menjelma menjadi tontonan publik yang dramatis, penuh alur tak terduga, dan sayangnya—belum juga tamat.

Dalam kasus ini, KPK tampak seperti penari balet yang menari di panggung lumpur: langkahnya ringan, tapi setiap putaran menyisakan jejak yang dalam, becek, dan kadang memusingkan.

Publik pertama kali dikejutkan oleh Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang digelar KPK pada akhir Juni 2025. Topan Obaja Putra Ginting, Kepala Dinas PUPR Sumut, ditangkap bersama sejumlah pihak swasta dalam dugaan suap proyek infrastruktur jalan.

Nilai proyeknya bukan main-main—Rp231,8 miliar. Adapun fee suap yang diduga diterima Topan mencapai sekitar Rp8 miliar, atau 4–5 persen dari total anggaran.

KPK menyita uang tunai Rp231 juta saat OTT. Tapi drama belum berhenti di situ. Babak baru dimulai saat tim penyidik menggeledah rumah pribadi Topan.

Di sana, ditemukan uang tunai Rp2,8 miliar—dalam pecahan besar—dan dua pucuk senjata api. Fakta ini tak hanya menambah dimensi baru dalam penyelidikan, tapi juga menyulut imajinasi publik: apakah ini rumah pejabat atau benteng pertahanan?

Pekan berikutnya, KPK memanggil istri Topan, Isabella Pencawan, untuk diperiksa terkait keberadaan uang dan senjata tersebut. Tak lama kemudian, mantan Penjabat Sekda Sumut, M. Ahmad Effendy Pohan, juga dipanggil sebagai saksi.

Nama-nama lain pun mulai bermunculan. Seakan publik sedang menonton telenovela panjang, dengan karakter yang terus bertambah, konflik yang terus berkembang, dan akhir cerita yang tak kunjung tiba.

Publik pun mulai bertanya: ke mana arah kasus ini? Apakah KPK sedang menggiring publik menuju tokoh antagonis utama, atau justru sekadar menggulung pion-pion kecil?

Apakah publik sedang menyaksikan strategi hukum, atau sekadar koreografi penindakan agar panggung tetap hidup? Apakah taktik ini ibarat menyantap bubur: bukan menerjang tengah, tapi menyisir hangatnya dari sisi paling aman?

Wajar bila masyarakat mulai lelah? Dalam banyak kasus sebelumnya, KPK kerap menangkap tangan pelaku lapangan, tapi tak selalu mampu menembus tembok kekuasaan yang mengarahkan permainan.

Publik paham betul: proyek-proyek besar seperti ini tak lahir dari meja teknis semata. Ia lahir dari ruang rapat, percakapan informal, dan kesepakatan gelap di level kebijakan.

Namun, melihat struktur perkara ini, KPK tampaknya sedang memainkan strategi bertahap. Dengan memulai dari pelaksana teknis dan kontraktor, mereka menelusuri aliran uang, menggali dokumen proyek, dan memeriksa pejabat tingkat atas.

Dari lima tersangka yang telah diumumkan—termasuk Topan, dua pejabat pelaksana, dan dua direktur perusahaan—proses hukum mulai menunjukkan arah, meski belum final.

Tentu saja, publik berharap kasus ini tak berhenti di Topan Ginting. Proyek senilai ratusan miliar dengan pola fee yang sistematis jelas tak mungkin berdiri sendiri.

Uang muka proyek yang disebut-sebut mencapai Rp2 miliar pun menandakan adanya praktik “pesanan” yang disepakati jauh sebelum proyek bergulir secara formal.

Di sinilah KPK diuji. Bukan sekadar pada kemampuannya menangkap tangan, tapi pada kemauan politik dan keberanian institusional untuk menembus batas-batas kekuasaan. Masyarakat tidak ingin lagi menyaksikan telenovela yang berakhir datar: dengan tersangka kecil, vonis ringan, dan keadilan yang setengah hati.

Publik tentu paham, hukum tak bisa bekerja seperti sulap. Tapi publik juga sadar, bahwa tanpa tekanan dan pengawasan, banyak kasus besar bisa menguap begitu saja.

Karena itu, tugas publik bukan hanya menonton, tapi bersuara. Menjadi saksi yang aktif, agar cerita ini tidak berakhir seperti banyak kisah korupsi lain: tenggelam bersama ingatan kolektif yang cepat lupa.

Bila KPK ingin dikenang sebagai sutradara sejati dalam pemberantasan korupsi, inilah panggungnya. Jika mau, bagi KPK inilah momen terbaiknya untuk mengubah drama jadi keadilan nyata!Demikian Farid Wajdi.(m22)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE