MEDAN (Waspada.id): Kasus dugaan korupsi proyek jalan di Sumatera Utara yang salah satu terdakwa adalah mantan Kadis PUPR Sumut, Topan Ginting, semestinya menjadi ujian integritas penegakan hukum.
Namun nyatanya, KPK justru menghadirkan keganjilan, dimana Gubernur Sumut Bobby Nasution atasan Topan Ginting dan sejumlah saksi penting belum juga diperiksa, meskipun sudah ada perintah hakim.
‘’Ketidakhadiran ini bukan sekadar soal administratif, ini menjadi alasan wajar bagi pihak penggugat untuk menempuh jalur praperadilan, menuntut agar KPK menjalankan tugasnya sesuai hukum,’’ ucap Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, Farid Wadji kepada Waspada.id, Sabtu (6/12/2025).
Farid menanggapi itu setelah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Jumat (5/12/2025), menggelar sidang perdana gugatan praperadilan (prapid) atas tak kunjung diperiksanya Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, dalam dugaan korupsi pembangunan jalan di Sumatera Utara.
Namun, sidang ini ditunda karena Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), selaku termohon absen. Majelis Hakim Tunggal Budi Setiawan mengatakan, ia sudah menerima berkas gugatan perkara dari Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) selaku pemohon.
Mejalis hakim juga mendapatkan informasi dari KPK yang meminta waktu satu minggu untuk menjawab permohonan pemohon.
Oleh karena sidang tidak dihadiri termohon KPK, maka sidang ditunda pekan depan. Tepatnya, Jumat, 12 Desember 2025 pukul 10.00 WIB.
Dalam kesempatan itu, Farid menyebut perintah hakim bukan saran. Absennya KPK dalam sidang yang seharusnya menegaskan fakta dan menghadirkan saksi kunci membuat kasus ini terkesan “digantung”.
Publik mengamati, sementara lembaga antikorupsi tampak ragu menjalankan kewenangannya secara penuh.
‘’Inilah dasar logis mengapa praperadilan diajukan, karena KPK dianggap tidak menjalankan tugasnya dengan benar dan sesuai perintah hukum, sehingga masyarakat memiliki hak untuk meminta kejelasan melalui mekanisme hukum alternatif,’’ kata Farid.
Lebih jauh, Farid menjelaskan, tidak diperiksanya saksi kunci dan terdakwa berpotensi merusak seluruh konstruksi dakwaan. Fakta yang seharusnya muncul di persidangan kini hanya menjadi dokumen setengah lengkap. Publik melihat, hukum bukan dijalankan, tetapi diatur oleh jeda waktu, ketidakhadiran, dan manuver administratif.
‘’Pesan pentingnya tegas: perintah hakim bukan saran; itu instruksi hukum yang wajib dipatuhi. Penundaan dan pengabaian bukan formalitas, tetapi pelanggaran prinsip akuntabilitas,’’ tegas Farid.
Rakyat menuntut fakta, bukan drama panjang; bukti, bukan pembenaran. Hukum yang diam di hadapan perintah pengadilan kehilangan legitimasi, sementara pejabat yang terkait mendapat ruang untuk “mengatur ulang” narasi.
Farid pun menyebut kasus Bobby Nasution dan saksi yang belum diperiksa menjadi cermin kegagalan sistemik: hukum tersandera oleh ketidaktegasan, pengaruh eksternal, dan birokrasi lamban.
‘’Praperadilan yang diajukan bukan sekadar prosedur formal, tetapi wujud nyata kekecewaan publik terhadap lembaga yang seharusnya independen. Diam dan menunda bukan netral; itu berpihak pada ketidakadilan. Rakyat menuntut satu hal: aksi nyata, bukan jeda panjang dan ketidakhadiran,’’ ungkapnya.
Sementara surat dakwaan yang mengabaikan uang Rp2,8 miliar hasil OTT semakin memperjelas adanya kekosongan substansi dalam proses hukum.
Penundaan pemeriksaan terdakwa dan saksi bukan sekadar jeda waktu; ia mengaburkan fakta yang seharusnya menjadi inti persidangan.
Publik pun bertanya: apakah ini ketidaksengajaan birokratis, atau ada campur tangan politik yang membuat penegakan hukum tersandera?
Mengenai dugaan penghalangan penyidikan oleh Kepala Satgas untuk menggeledah dan menyita barang bukti menegaskan adanya actus reus, perbuatan melawan hukum yang menghambat proses keadilan.
‘’Pergeseran anggaran yang diduga disengaja menunjukkan mens rea, niat jahat yang membentuk pola terencana. Kombinasi ini bukan sekadar kelalaian prosedural; ia adalah indikasi manipulasi sistem hukum yang serius dan merusak kepercayaan publik,’’ tandas Farid Wajdi.
Sebelumnya, Koordinator MAKI, Boyamin Saiman mengatakan KPK harus mempunyai semangat baru dengan menghadiri gugatan praperadilan tersebut.
Sebab, nanti sudah tidak ada lagi perdebatan penelantaran perkara itu termasuk objek perkara atau bukan. Sebab, dalam KUHAP yang baru telah ditetapkan bahwa penelantaran perkara termasuk objek perapradilan.
“Nah, penelantaran perkara dalam pokok perkara ini adalah tidak memanggil Bobby sebagai saksi. Bahkan oleh hakim Pengadilan Tipikor Medan diminta untuk dihadirkan. Tidak dihadirkan. Terus juga di KPK tidak dihadirkan,” kata Boyamin saat ditemui wartawan usai sidang prapid tersebut.
Kemudian, lanjutnya, surat dakwaan menghilangkan uang Rp2,8 miliar hasil dari operasi tangkap tangan (OTT). Ada pula, beberapa isu dugaan penghalangan atau penghambatan oleh Kepala Satgas untuk menggeledah dan menyita terkait rasuau proyek jalan di Sumut.
“Jadi, ini kan masuk kategori seperti KUHAP tadi, penelantaran perkara itu adalah dengan cara menelantarkan atau menghentikan secara tidak sah. Tidak sahnya ini empat itu tadi. Maka, ini harus siap-siap KPK nanti untuk diperintahkan atau dikalahkan itu untuk praperadilan,” ungkap Boyamin.
Oleh karena itu, meski kecewa KPK tidak menghadiri sidang perdana, Boyamin menerima alasan karena menyiapkan berkas supaya tidak kalah dalam gugatan praperadilan ini.
Namun, Boyamin menyebut mudah saja bila tak ingin kalah, yakni segera panggil Bobby Nasution ke Pengadipan Tipikor Medan dan Muryanto Amin ke Gedung KPK, Jakarta.
Kemudian, surat dakwaan dibuktikan dengan ditambahkan Rp2,8 miliar. Lalu, Satgas-Satgas yang melakukan penyitaan dan penggeledahan bisa melakukan upaya paksa lagi.
“Jadi, gugatan ini kan sebenarnya memaksa KPK untuk menjalankan tugasnya dengan benar. Intinya yang utama adalah memanggil Bobby,” terang Boyamin.
Pentingnya Memanggil Bobby Nasution
Boyamin menjelaskan KPK harus memanggil Gubernur Sumut Bobby Nasution. Keterangan menantu Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) itu diperlukan bukan hanya kapasitas sebagai kepala atau atasan yang mengawasi bawahan.
Tetapi, juga berkaitan dengan empat kali perubahan APBD yang digunakan untuk anggaran proyek pembangunan jalan tersebut.
Boyamin menyebut, APBD itu diambil dari pos-pos lain. Selain itu, Bobby juga turun langsung mengecek ke lapangan dalam pengerjaan proyek pembangunan jalan.
“Masa tidak dipanggil gitu? Masa harus digugat gitu kan? Sebenarnya kita malu. Dalam posisi ini punya KPK yang sangat lemah di hadapan Bobby gitu. Sementara kalau yang lain-lain dulu menteri saja dipanggil. Gubernur siapapun dipanggil, kalu di tempatnya ada proyek-proyek yang mangkrak atau tempat izin,” ucap Boyamin.
Boyamin menyebut pemanggilan Bobby bukan selalu harus ada dugaan penerimaan uang haram. Sebab, dalam tindak pidana korupsi tidak melulu harus menerima. Melainkan, melihat rangkaian perbuatannya yang memudahkan atau membantu terlaksananya proyek yang diduga terjadi rasuah.
“Membantu aja kan dikurangi sepertiga. Korupsi dianggap tidak ada pembantuan, dianggap turut serta. Makanya, harus digali, diperiksa di Pengadilan Negeri Tipikor,” ucap Boyamin.
Menurut Boyamin, hakim sejatinya sudah meminta untuk memanggil Sekda dan Gubernur Sumut dalam persidangan, meski tidak menyebutkan nama. Maka itu, tidak ada alasan lagi bagi KPK tak memanggil Bobby Nasution.(id96)












