MEDAN (Waspada): Kantor Hukum Sibells Law Firm, membantah pernyataan resmi dari Sampoerna Academy (SA), yang disampaikan Akbar Sugema Allutfi selaku perwakilan Corporate Communication, yang menyebut siswa berusia 13 tahun melakukan perundungan (bullying) di sekolah tersebut.
Bantahan tersebut disampaikan advokat dari kantor hukum Sibells Law Firm, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama klien mereka berinisial PRS, selaku orang tua anak berinisial LRS berusia 13 tahun.
Bantahan tersebut ditandatangani empat kuasa hukum, yakni Doglas G Iskandar Muda SE, SH, Artanti Silitonga SH, Rahmad Syaputra Harahap, SH, MH, CPM, dan Rizky Dermawan SH.
Dalam keterangan yang salinannya diterima Waspada di Medan, Jumat (16/8), disebutkan, pernyataan SA soal perundungan yang dilakukan sang siswa, LRS terkesan sepihak yang tidak jelas, kabur, prematur serta error in persona.
Alasannya, karena LRS sama sekali tidak pernah melakukan perbuatan yang dimaksud oleh SA, dan terkait persoalan yang dinilai telah diproses pihak sekolah demi melindungi namun mengorbankan anak, LRS tidak pernah diundang khusus untuk membahas dengan komprehensif dan menyeluruh terkait tuduhan perundungan tersebut.
Justru, klien mereka hanya mendapat undangan yang dikirimkan melalui pesan whatsapp tanggal 23 Juli 2024, dengan agenda akademik, namun kenyataannya anak klien mereka dikonfrontir dengan berbagai tuduhan.
Menurut pihak kuasa hukum, bantahan tersebut sesungguhnya tidak perlu berulangkali dilakukan, karena menjadi pengabaian permasalahan utama, terkait diskriminasi dan persekusi anak, yang justru dilakukan oleh sebuah lembaga sekolah formil yang tunduk pada peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Kemudian, wajib melindungi seluruh anak, bukan sebagian sesuai Undang-Undang Perlindungan terhadap anak yang dilindungi negara dan dunia, yang sedang dalam proses perjuangan menegakkan perlindungan dan semangat untuk menegakkan keadilan walau langit runtuh atau fiat justitia ruat caelum.
Terkesan Memaksakan Kehendak
Lebih lanjut disebutkan, SA terkesan telah memaksakan segala cara untuk mempertahankan diri sebagai sikap defensif berlebihan, yang hanya untuk membenarkan institusinya.
Yakni, telah sepihak dan terlalu berani dan tanpa dasar hukum kewenangan, sehingga menjadi abuse of power atau melebihi kewenangan, karena menyatakan “baik yang diduga ataupun yang telah terbukti, secara langsung maupun tidak langsung”.
Hal itu tampaknya menggiring SA bertindak sebagai lembaga sekolah atau institusi negara, seperti Kepolisian RI, Kejaksaan RI dan atau Kehakiman RI yang berhak menyidik, menuntut dan memutus suatu dugaan perkara.
“Maukah SA sejenak mendengar dan menyatakan kebenaran bahwa klien kami tidak pernah diproses mediasi secara berimbang, tidak diberi kesempatan menunjukkan bukti-bukti dari kedua pihak yang jelas dan nyata,” tulis isi bantahan tersebut.
Yakni, perihal siapa pelapor dan korban sesungguhnya terkait peristiwa yang dilaporkan tersebut dan menyudutkan LRS yang berumur 13 tahun yang divonis dinyatakan “diduga pelaku/terlibat perundungan kepada 4 (empat) anak kelas XII SMU yang berumur 17 tahun?”.
Selanjutnya, terkait tuduhan perundungan tersebut, kepada LRS tidak pernah ditunjukkan bukti-bukti yang jelas dan nyata perihal siapa yang melaporkan ke pihak SA bahkan bagaimana mungkin siswa, yang berumur 14 tahun melakukan perundungan kepada anak kelas XII SMU yang berumur 17 tahun.
Akibatnya, dalam hal ini justru LRS yang telah dirundung oleh siswa Kelas XII SMU tersebut, yang mana hal tersebut junior selalu dirudung oleh yang senior.
Kemudian, pernyataan sikap SA, yang tetap mempertahankan keputusan sepihak yang menolak LRS untuk bersekolah dan menghakiminya dengan dugaan terlibat perundungan secara langsung atau tidak langsung, sehingga tidak layak masuk sekolah itu, merupakan sikap menutup mata.
Dan juga seolah bebas dari jerat hukum atas perbuatan diskriminasi anak, yang melanggar konstitusi negara sebagaimana termaktub di Pasal 31 UUD 1945, Hak Asasi Manusia, dan sila kelima Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (cpb/rel)