Medan

Kuota Jamaah Haji Sumut Hanya 5.537 Orang, Calhaj Minta Diberlakukan Tahun 2027

Kuota Jamaah Haji Sumut Hanya 5.537 Orang, Calhaj Minta Diberlakukan Tahun 2027
Ketua Umum Perkumpulan FK KBIHU KH Akhyar Nasution bersama pengurus saat kegiatan penetapan Ketua Masa Khidmat 2025 - 2027. Waspada.id/ist
Kecil Besar
14px

MEDAN (Waspada.id): Tahun 2026 kuota jamaah haji Sumatera Utara mengalami pengurangan drastis. Dimana tahun 2025 jamaah haji asal Sumatera Utara sebanyak 8.238 untuk jamaah reguler dan petugas haji. Sementara tahun 2026, kuota jamaah haji Sumatera Utara hanya 5.537 orang.

Untuk itu, jamaah calon haji (Calhaj) asal Sumatera Utara meminta pemerintah menunda pemberlakuan kuota ini hingga tahun 2027 mendatang. Mengingat Calhaj yang sudah mengecek nomor porsi berangkat tahun 2026 sebelumnya, telah melakukan berbagai persiapan.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Mereka juga meminta Presiden RI Prabowo Subianto meninjau kembali jumlah kuota ini dan memberlakukan tahun 2027.

Hal ini terungkap dalam kegiatan Rapat Perkumpulan Forum Komunikasi Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (FK KBIHU) Sumatera Utara pada Jumat (21/11/2025).

Kegiatan sekaligus melaksanakan Pergantian Antar Waktu(PAW) Ketua FK KBIHU Sumut setelah Ketuanya H.Ilyas Halim MPd wafat. Dalam kegiatan ini sekaligus menetapkan Ketua KH Akhyar Nasution Masa Khidmat 2025 s.d 2027.

Menurut Ketua Perkumpulan Forum Komunikasi Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah Provinsi Sumatera Utara KH Akhyar Nasution, kebijakan ini lahir dengan semangat pemerataan dan keadilan, agar calon jamaah dari seluruh wilayah memiliki peluang yang setara untuk menunaikan rukun Islam kelima.

Selama ini, disparitas masa tunggu memang cukup lebar, di beberapa provinsi antreannya bisa mencapai lebih dari tiga dekade, sementara di wilayah lain jauh lebih singkat.

Misalnya, di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan masa tunggu keberangkatan haji mencapai 47 tahun, sementara di Kabupaten Maluku Barat Daya masa tunggu antrean haji hanya 11 tahun.

Dari sisi prinsip, kebijakan ini pantas diapresiasi. Pemerataan masa tunggu adalah bentuk ikhtiar negara untuk menghadirkan keadilan dalam pelayanan ibadah yang sangat diidamkan umat.

Namun, di lapangan, kebijakan ini menimbulkan gelombang kegembiraan dan kekecewaan di banyak daerah karena diterapkan secara mendadak tanpa sosialisasi yang memadai.

Calon jamaah Provinsi yang mendapatkan kuota merasa berbahagia, sementara mereka yang berada di Provinsi yang mengalami pemangkasan kuota seperti Sumatera Utara merasa sangat kecewa.

Salah satu daerah yang paling terdampak adalah Provinsi Sumatera Utara, yang mengalami pengurangan 2415 calon jamaah untuk tahun keberangkatan 2026.

Banyak di antara mereka yang sudah menunggu lebih dari satu dekade, mengikuti manasik, bahkan menyiapkan diri secara spiritual sejak September 2025.

Tiba-tiba, kabar datang bahwa keberangkatan mereka ditunda karena penyesuaian masa tunggu. Tidak sedikit yang merasa kecewa, bahkan menangis karena merasa impian panjang itu kembali harus tertunda.

Seperti yang disampaikan oleh Prof. Dr. Hj. Masganti Sitorus Guru Besar UINSU. Kebijakan ini baik, namun minim empati.

Setiap kebijakan publik, betapapun baik niatnya, tetap harus dijalankan dengan empati dan kebijaksanaan komunikasi. Di sinilah letak tantangan terbesar pemerintah.

Kebijakan kesamaan masa tunggu haji seharusnya tidak hanya dipandang sebagai urusan administratif, melainkan juga urusan spiritual, emosional, dan bahkan sosial-ekonomi.

Menunggu giliran berhaji bukan sekadar antrean angka di sistem komputer. Di balik setiap nomor porsi haji, ada harapan, doa, dan pengorbanan keluarga. Ada yang menabung bertahun-tahun dari hasil kerja keras, misalnya sebagai berdagang kecil-kecilan, atau bertani.

Ada pula yang menjual hartanya untuk membayar uang muka haji dengan keyakinan bahwa keberangkatan ke Tanah Suci akan menjadi puncak ibadah dalam hidupnya. Karena itu, ketika kebijakan baru diumumkan tanpa masa tenggang, rasanya seperti mematahkan harapan yang telah disemai sekian lama.

Masyarakat membutuhkan waktu untuk memahami dan menyesuaikan diri. Idealnya, kebijakan seperti ini disertai masa transisi satu hingga dua tahun, agar tidak langsung memotong antrean jamaah yang sudah merasa berada di ambang keberangkatan berdasarkan pengalaman tahun tahun sebelumnya.

Jalan Tengah yang Bijak

Melihat situasi yang berkembang, tahun ini sebaiknya dijadikan sebagai tahun sosialisasi, bukan tahun aksi. Pemerintah perlu memberi waktu bagi masyarakat untuk memahami substansi dan tujuan kebijakan tersebut. Sosialisasi yang dilakukan secara bertahap, terbuka, dan penuh empati akan jauh lebih efektif daripada pelaksanaan yang tergesa-gesa.

Dalam masa sosialisasi ini, Kementerian Haji dan Umroh dapat melakukan dialog publik di setiap provinsi, mengundang tokoh agama, ormas Islam, dan biro perjalanan haji untuk menjelaskan esensi kebijakan.

Pendekatan ini tidak hanya menjembatani pemahaman, tetapi juga menumbuhkan rasa memiliki dari masyarakat terhadap kebijakan pemerintah.

Dengan komunikasi yang baik, masyarakat akan melihat bahwa kebijakan ini bukan sekadar perubahan teknis, melainkan upaya negara menghadirkan keadilan spiritual bagi seluruh umat Islam Indonesia.

Aspek Diplomasi dan Kemanusiaan

Selain sosialisasi, pemerintah juga dapat menempuh jalur diplomasi dengan Kerajaan Arab Saudi untuk penambahan kuota jemaah haji Indonesia, sebagaimana pernah berhasil dilakukan pada tahun 2024, terlepas dari pro dan kontra implementasinya.

Penambahan kuota akan membantu menekan panjangnya daftar tunggu dan menjadi solusi nyata bagi daerah-daerah yang mengalami masa tunggu yang panjang.

Indonesia sebagai negara dengan jumlah jemaah haji terbesar di dunia memiliki rekam jejak yang baik dalam penyelenggaraan ibadah haji. Dari sisi pelayanan, manajemen, hingga inovasi digital, banyak kemajuan yang diakui oleh otoritas haji Saudi.

Modal ini dapat menjadi kekuatan diplomatik untuk meminta tambahan kuota, setidaknya sementara, pada masa transisi implementasi kebijakan baru ini. Kita paham bahwa kuota haji bersifat global dan sangat terbatas.

Namun, bukan berarti tidak bisa diperjuangkan. Jika diplomasi dilakukan dengan argumentasi kemanusiaan dan spiritual—bahwa banyak calon jemaah lansia sudah menunggu puluhan tahun—maka peluang untuk mendapatkan tambahan kuota sangat terbuka.

Kebijakan tanpa sentuhan kemanusiaan hanya akan menghasilkan angka, bukan makna. Karena itu, pendekatan humanis perlu menjiwai seluruh kebijakan haji agar tetap berpihak kepada umat.

Membangun Komunikasi Publik yang Beradab

Dalam konteks pelayanan publik, komunikasi adalah separuh dari kebijakan itu sendiri. Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap kebijakan besar yang menyentuh hajat umat diinformasikan secara terbuka, jelas, dan menggunakan bahasa yang mudah dipahami.

Sosialisasi tidak cukup hanya melalui surat edaran atau siaran pers, tetapi harus menyentuh ruang-ruang keagamaan dan komunitas sosial di akar rumput.

Masjid, majelis taklim, dan kelompok bimbingan haji dapat dijadikan mitra strategis dalam menyampaikan informasi. Pendekatan seperti ini lebih efektif karena disampaikan melalui jalur keagamaan yang dipercaya masyarakat. Di sinilah pentingnya sinergi antara negara dan umat.

Belajar dari Prinsip Keadilan Islam

Dalam Islam, keadilan bukan sekadar kesamaan, melainkan penempatan sesuatu pada tempatnya (al-‘adl). Artinya, kebijakan yang adil bukan hanya yang menyamaratakan angka, tetapi juga mempertimbangkan konteks, kondisi, dan dampak terhadap manusia.

Jika keseragaman masa tunggu dimaksudkan untuk keadilan, maka keadilan itu harus terasa, bukan sekadar terlihat di atas kertas. Jamaah yang sudah mempersiapkan diri dan berada di tahap akhir semestinya diberi perlakuan khusus agar tidak dirugikan. Inilah makna hikmah dalam kebijakan—menjalankan keputusan dengan akal dan hati.

Rasulullah Saw, mengajarkan bahwa setiap keputusan hendaknya membawa maslahat, bukan mudarat. Oleh sebab itu, dalam konteks kebijakan publik, keseimbangan antara rasionalitas administratif dan sensitivitas sosial harus dijaga.

Menjaga Harapan, Menyemai Kesabaran

Ibadah haji adalah perjalanan panjang menuju Allah, bukan hanya secara fisik, tetapi juga spiritual. Dalam proses menunggu, banyak calon jemaah belajar kesabaran, keikhlasan, dan tawakal.

Namun, kesabaran itu perlu didampingi oleh keadilan dari negara. Tidak ada yang lebih menyakitkan bagi jemaah selain merasa diabaikan oleh sistem yang semestinya melayani mereka.

Karenanya, mari jadikan momentum ini sebagai pengingat bersama: bahwa kebijakan publik yang menyentuh dimensi ibadah tidak boleh dijalankan dengan kering dari rasa empati.

Pemerintah perlu mendengar, memahami, dan menenangkan umat sebelum mengubah sistem yang menyangkut rukun Islam. Harapan umat kini sederhana: agar suara mereka didengar, dan agar perubahan kebijakan dijalankan dengan bijak.

Semoga pemerintah berkenan menjadikan tahun ini sebagai tahun sosialisasi dan persiapan, bukan tahun pelaksanaan yang tergesa-gesa.

“Dengan demikian, kebijakan keseragaman masa tunggu haji akan benar-benar menjadi instrumen keadilan spiritual—bukan sumber keresahan baru di tengah umat,”pungkasnya.(id18)


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE