Medan

Legalisasi Bencana Ekologis Di Sumatera Dan Tuntutan Tanggung Jawab Negara Serta Korporasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)

Legalisasi Bencana Ekologis Di Sumatera Dan Tuntutan Tanggung Jawab Negara Serta Korporasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
Kecil Besar
14px

MEDAN (Waspada.id): Banjir dan longsor yang menerjang Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada 25-27 November lalu menyebabkan 442 orang meninggal, 402 orang hilang, dan 156.918 orang harus mengungsi.

Berdasarkan catatan WALHI, bencana ini disebabkan oleh kerentanan ekologis yang terus meningkat akibat perubahan bentang ekosistem penting seperti hutan, dan diperparah oleh krisis iklim.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Periode 2016 hingga 2025, seluas 1,4 juta hektar hutan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat yang telah terdeforestasi akibat aktivitas 631 perusahaan.

Rincian izin perusahaan: 36 perusahaan pemegang PBPH; 146 perusahaan pemegang HGU sawit; 400 perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan; 11 perusahaan pemegang izin geotermal/panas bumi; 38 perusahaan pemegang izin PLTM dan 1 perusahaan pemegang izin PLTA.] pemegang izin tambang, HGU sawit, PBPH, geotermal, izin PLTA dan PLTM.

Jika dilihat lebih detail, bencana di tiga provinsi ini bersumber dari wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) besar yang hulu-nya berada di bentang hutan Bukit Barisan.

Di Sumatera Utara misalnya, bencana paling parah melanda wilayah-wilayah yang berada di Ekosistem Harangan Tapanuli (Ekosistem Batang Toru), yaitu Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, dan Kota Sibolga.

Ekosistem Batang Toru yang berada di bentang Bukit Barisan telah mengalami deforestasi sebesar 72.938 hektar (2016-2024) akibat operasi 18 perusahaan. Sedangkan di Aceh, ada 954 DAS, 60% dalam Kawasan Hutan, 20 DAS kritis. Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Trumon yang memiliki luas 53.824 Ha.

Sejak 2016-2022 43 % DAS tersebut mengalami kehilangan tutupan hutan, sekarang tersisa 30.568 Ha atau sekitar 57 % . DAS Singkil sebagaimana yang ditetapkan pemerintah berdasarkan SK 580 seluas 1,241,775 hekar. Namun sisa tutupan hutan pada 2022 hanya 421,531 hektar.

Artinya dalam kurun waktu 10 tahun terakhir mengalami degradasi tutupan hutan di DAS Singkil seluas 820,243 hekar, 66%. DAS Jambo Aye luas awalnya 479.451 hektar, kerusakan 44,71 %.

DAS Peusangan yang luasnya 245.323 kerusakan 75,04 %, DAS Krueng Tripa dari total luas 313.799 kerusakan 42,42 %. DAS Tamiang dari luas 494.988 kerusakan 36.45 %.

Di Sumatera Barat, DAS Aia Dingin yang merupakan salah satu DAS administratif penting di Kota Padang, dengan luas 12.802 hektare. Secara topografis, kawasan hulu DAS memiliki kelerengan datar hingga terjal, dengan bagian hulu berada di wilayah Kawasan Hutan Konservasi Bukit Barisan yang seharusnya berfungsi sebagai benteng ekologis utama.

Namun, kawasan terdegradasi cukup parah akibat tekanan aktivitas manusia. Dari tahun 2001 hingga 2024, DAS Aia Dingin kehilangan 780 hektare tutupan pohon, mayoritas deforestasi terjadi di wilayah hulu, yang memiliki peran vital dalam meredam aliran permukaan dan mencegah banjir bandang.

“Banjir yang melumpuhkan sedikitnya 16 kabupaten di Aceh memberikan satu pesan keras, bahwa alam tidak lagi mampu menahan beban kerusakan yang dipaksakan manusia. bencana kali ini bukan hanya fenomena alamiah, melainkan bencana ekologis yang diproduksi oleh kebijakan pemerintah yang abai, permisif, dan memfasilitasi penghancuran ruang hidup masyarakat melalui investasi ekstraktif yang rakus ruang. banjir berulang ini sebagai hasil akumulasi dari deforestasi, ekspansi sawit, hingga Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang dibiarkan merajalela. Pemerintah gagal menghentikan kerusakan di hulu dan terjadi pembiaran, justru terpaku pada solusi tambal sulam di hilir seperti pembuatan tebing sungai dan normalisasi sungai,” jelas
Ahmad Solihin, Direktur Eksekutif WALHI Aceh kepada Waspada.id pada Selasa (2/12).

Riandra, Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Utara menyampaikan “ilayah yang paling kritis adalah Tapanuli Tengah, Sibolga dan Tapanuli Selatan yang hulunya ada di ekosistem batang toru.

Dalam delapan tahun terakhir WALHI Sumut mengkritisi terus-menerus model pengelolaan Batang Toru, misalnya PLTA Batang Toru, selain akan memutus habitat orang hutan dan harimau, juga merusak badan-badan sungai dan aliran sungai yang menjadi daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Selain itu juga pertambangan emas yang berada tepat di sungai Batang Toru. Desa-desa lain di kecamatan Sipirok juga ada aktivitas kemitraan kebun kayu dengan PT Toba Pulp Lestari yang akhirnya mengalihfungsikan hutan. Semua aktitas eksploitasi dilegalisasi oleh pemerintah melalui proses pelepasan kawasan hutan untuk izin melalui revisi tata ruang.”

Andre Bustamar dari WALHI Sumbar menyatakan bahwa penyebab bencana di Sumbar diakibatkan oleh akumulasi krisis lingkungan karena gagalnya pemerintah dalam melakukan pengelolaan SDA.

Deforestasi, Pertambangan emas ilegal, lemahnya penegakan hukum menjadi penyebab kenapa Sumbar terus didera bencana ekologis. Fenomena tunggul-tunggul kayu yang hanyut terbawa arus sungai menunjukkan adanya aktivitas penebangan di kawasan hulu DAS.

Hal ini memperkuat dugaan bahwa praktik eksploitasi hutan masih berlangsung dan menjadi penyebab langsung meningkatnya risiko bencana ekologis.

Bencana ekologis yang terjadi di Sumbar menempatkan Negara dalam hal ini Pemerintah Daerah Provinsi Sumbar sebagai aktor yang paling bertanggung jawab melindungi masyarakatnya dari resiko bencana.

Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional mengatakan “Dari fakta ini kita bisa lihat dengan jelas bahwa penyebab bencana ekologis yang terjadi saat ini adalah pengurus negara dan korporasi.”

Maka tanggung jawab pengurus negara adalah mengevaluasi seluruh izin perusahaan yang ada di Indonesia, terkhususnya di ekosistem penting dan genting. Jika harus dilakukan pencabutan izin, maka itu harus dilakukan.

Apalagi Menteri Kehutanan sudah bilang akan mengevaluasi, ya sekarang kami tagih, kami punya nama-nama perusahaan nya, silahkan evaluasi dan lakukan penegakan hukum.

Jangan hanya berjanji di tengah ratusan ribu orang tengah berduka di Sumatera. Hal lainnya adalah menangih pertanggung jawaban korporasi untuk menanggung biaya eksternalitas dari bencana yang terjadi.

Negara tidak boleh menanggung biaya eksternalitas itu sendiri, karena uang yang akan dipakai adalah uang negara yang sumbernya dari pajak kita.

Menurut mereka, negara juga harus menagih tanggung jawab korporasi untuk memulihkan ekosistem yang telah mereka rusak. Mereka telah menikmati keuntungan besar dari eksploitasi alam, saatnya mereka juga ditagih tanggungjawab untuk memulihkannya”.

Gandar Mahojwala, Direktur Eksekutif WALHI Yogyakarta menyampaikan “BMKG telah menyatakan bahwa 17 November telah dideteksi Pusat Tekanan Rendah (Low Pressure Area).

Pers rilis BMKG telah menegaskan pentingnya pemerintah daerah untuk mulai waspada atas potensi bencana hidrometeorologi. Tanggal 21 November 2025, BMKG menyatakan bahwa Pusat Tekanan Rendah telah menjadi Bibit Siklon.

Kedua informasi ini menunjukkan bahwa peringatan dini sudah cukup menjelaskan adanya potensi bencana, namun tidak dilakukan aksi merespon peringatan dini yang serius oleh pemerintah.

“Sebagaimana telah dijelaskan oleh WALHI Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh di media, bahwa bencana ini ada penyebab non-alamnya. Pemicu utamanya bukan alam semata, tapi karena kerentanan yang disebabkan oleh perusahaan-perusahaan yang merusak daya dukung dan daya tampung lingkungan. Ini menegaskan bahwa tidak ada yang namanya Bencana Alam. Istilah Bencana Alam seolah membuat kambing hitam bencana ada pada alam. Padahal, proses terjadinya bencana sangat dipengaruhi dari kerentanan yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan yang menguasai luas lahan yang besar,” jelas Gandar.

“Pemerintah juga perlu tegas untuk segera mengesahkan mekanisme Analisis Risiko Bencana, sebuah kegiatan penelitian dan studi tentang kegiatan yang memungkinkan terjadinya bencana.

Analisis Risiko Bencana sudah diatur dalam Pasal 40 ayat (3), Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pasal ini menyatakan bahwa setiap kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi yang menimbulkan bencana dilengkapi dengan analisis risiko bencana sebagai bagian dari usaha penanggulangan bencana sesuai dengan kewenangannya.

“Instrumen ini menjadi penting untuk segera disahkan, untuk memastikan bahwa tidak ada lagi perusahaan-perusahaan yang meningkatkan dan memungkinkan terjadinya bencana.” tutup Gandar.

Melva Harahap, Manager Penanganan dan Pencegahan Bencana Ekologis, WALHI Nasional juga menyampaikan bahwa bencana ekologis yang terjadi di sumatera mengakibatkan kolapsnya pranata kehidupan di 3 provinsi tersebut.

Rakyat mengalami kerugian material seperti kehilangan rumah, keluarga, harta benda, hewan ternak, kebun, hak hidup dengan rasa aman dan nyaman termasuk lingkungan hidup yang sehat hilang seketika ketika bencana ekologis ini terjadi.

Di sisi lain bencana ini juga mengakibatkan rusaknya sarana prasana jalan rusak, listrik mati, sinyal komunikasi terputus, bbm langka, bahan makanan semakin hari menipis, mengakibatkan warga terisolir.

Hak bekerja, hak belajar, dan kebutuhan dasar lain rakyat tidak dapat terpenuhi, padahal UU 24 tahun 2007 Tentang Kebencanaan, mewajibkan negara untuk melindungi rakyat dari bencana yang terjadi fakta dilapangan hak dasar dan hidup yang menjadi tanggung jawab negara tidak dapat memenuhinya,

“Dari sisi kemanusiaan, penetapan status bencana nasional menjadi penting dalam merespon bencana ekologis yang terjadi di sumatera. Koordinasi antar lembaga/kementrian penting sehingga distribusi kebutuhan pokok, mengevakuasi warga yang masih terisolir, memastikan kebutuhan dasar dan hidup warga terjamin termasuk menyiapkan pemulihan jangka panjang bisa lebih cepat karena penetapan status bisa membuka pergerakan sumber daya nasional penuh dalam merespon bencana ekologis tersebut. Tetapi hal yang harus diingat, penting bagi negara untuk menagih pertanggungjawaban korporasi, dan tidak menetapkan ini sebagai bencana alam, sebab penetapan itu akan berkonsekuensi pada gugurnya tanggungjawab korporasi”, tutup Melva.

Ke depan, bencana ekologis juga akan terus meluas dan semakin sering terjadi akibat kebijakan iklim yang tidak ambisius dan berbasis HAM, bahkan justru mendorog pelepasan emisi dalam skala besar dari proyek-proyek energi.

Keputusan-keputusan dalam COP 30, terutama yang memajukan solusi palsu di sektor energi dan memperluas mekanisme perdagangan karbon, dikhawatirkan akan membuat bencana ekologis di Indonesia semakin sering dan meluas karena pendekatan tersebut tidak mengurangi ketergantungan pada energi fosil, berpotensi memperparah perampasan ruang hidup serta kerusakan ekosistem.

Dan mengalihkan perhatian dari kebutuhan mendesak untuk melakukan pengurangan emisi secara nyata; oleh karena itu kami menegaskan bahwa skema offset dan teknologi semu tersebut justru membuka jalan bagi intensifikasi krisis iklim.

Mulai dari deforestasi hingga peningkatan risiko bencana hidrometeorologis dan menyerukan transisi energi yang adil, berbasis perlindungan lingkungan serta hak-hak masyarakat, sebagai satu-satunya cara untuk mencegah kehancuran ekologis yang lebih besar di Indonesia. (id20)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE