Scroll Untuk Membaca

Medan

Legalitas Formal Versus Keadilan Agraria Di Indonesia

Legalitas Formal Versus Keadilan Agraria Di Indonesia
Farid Wajdi. Waspada.id/ist
Kecil Besar
14px

MEDAN (Waspada): Farid Wajdi selaku Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, menyampaikan pendapatnya terkait Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid menetapkan 184 bidang tanah sebagai tanah telantar. Negara bisa mengambil alih tanah-tanah itu berdasarkan peraturan perundangan.

Direktur Penertiban Penguasaan Pemilikan dan Penggunaan Tanah Kementerian ATR/BPN Sepyo Achyanto mengatakan penetapan sudah melalui beberapa tahap sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021.

“Yang sudah diberi peringatan dan sudah ditetapkan menjadi tanah telantar sejumlah 184 bidang,” kata Sepyo melalui pesan singkat kepada CNNIndonesia.com, Selasa (22/7)

Dalam hal ini, Rabu (23/7), Farid Wajdi menyampaikan langkah pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN yang menetapkan 184 bidang tanah sebagai “tanah telantar” dan siap diambil alih negara patut dicermati secara lebih kritis. Meskipun regulasi—dalam hal ini PP No. 20 Tahun 2021—memungkinkan negara mengambil tanah HGU/HGB yang tidak dimanfaatkan selama dua tahun, penerapan kebijakan ini membuka ruang persoalan besar ketika menyentuh tanah-tanah yang secara historis telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat adat atau petani lokal.

Di atas kertas, penertiban tanah telantar mungkin terdengar logis dan strategis. Lahan yang mangkrak tentu tidak memberikan kontribusi terhadap ekonomi nasional, terlebih di tengah keterbatasan lahan produktif dan melonjaknya kebutuhan pangan serta perumahan.

Namun, kenyataan di lapangan sering kali lebih kompleks. Tidak semua tanah yang terlihat “kosong” benar-benar telantar. Banyak di antaranya merupakan tanah eks-HGU yang telah kembali ke negara, lalu secara de facto dikelola oleh masyarakat lokal yang tidak memiliki akses pada legalitas formal.

Celakanya, masyarakat yang telah puluhan tahun menggarap tanah tersebut kini berada dalam posisi rentan. Dalam sejumlah kasus, begitu tanah itu dikategorikan telantar, negara bisa langsung menyerahkannya kepada pengembang atau investor, atas nama optimalisasi lahan. Dengan begitu, terjadilah tragedi: rakyat yang telah memelihara dan menggantungkan hidup pada tanah warisan leluhur malah tergusur, sementara tanah itu diubah menjadi kawasan industri, permukiman elit, atau perkebunan besar. Dalam diam, tanah warisan berubah status tanpa suara dari para ahli warisnya.

Inilah yang mengancam keadilan agraria di Indonesia. Publik tidak sedang bicara soal tanah milik korporasi besar yang mangkrak, melainkan tanah yang secara historis dimiliki, digarap, dan diwariskan oleh masyarakat adat atau keluarga petani. Ironisnya, negara menganggapnya telantar hanya karena tidak tercatat atau bersertifikat. Padahal, tidak sedikit dari para ahli waris ini yang tidak memiliki kemampuan administratif dan finansial untuk mengurus status hak atas tanah mereka.

Negara semestinya menjadi pelindung, bukan justru menjadi pihak yang mengambil paksa atas nama legalitas semu. Pemerintah harus mengedepankan prinsip kehati-hatian dan keadilan substantif.

Tanah yang memiliki riwayat penguasaan turun-temurun oleh masyarakat lokal harus diperlakukan berbeda. Pemeriksaan historis, konsultasi publik, dan verifikasi sosial mesti menjadi syarat mutlak sebelum menetapkan tanah sebagai objek penertiban.

Sebaliknya, rakyat pun tidak bisa terus bergantung pada ingatan sejarah semata. Perlu langkah aktif dan kolektif dari masyarakat untuk mengurus legalitas hak atas tanah mereka.

Pemerintah pusat dan daerah perlu memperluas akses terhadap program sertifikasi tanah, pendampingan hukum, serta penyuluhan hak agraria agar tidak terjadi ketimpangan informasi dan kekuasaan antara warga dan investor besar.

Publik percaya bahwa negara memiliki peran penting dalam mengatur dan mendistribusikan tanah secara adil. Namun, keadilan agraria tidak boleh dimaknai sebatas administrasi. Tanah bukan sekadar objek hukum; ia adalah warisan, identitas, dan sumber kehidupan.

Karena itu, dalam menerapkan aturan soal tanah telantar, negara wajib memihak pada sejarah, kemanusiaan, dan akal sehat. Tanah leluhur bukan tanah kosong. Ia hidup dalam ingatan dan penghidupan rakyat. Jangan sampai demi investasi, rakyat justru kehilangan tanah airnya sendiri.(m22)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE