MEDAN (Waspada): Rencana Gubernur Sumut (Gubsu) Bobby Nasution, menerapkan lima hari sekolah dinilai tidak beriorientasi pada peningkatan kualitas pendidikan. Dan sayangnya, Dinas Pendidikan tidak mampu memberi pertimbangan dan masukan kepada Gubsu, sehingga tidak keliru dalam mengambil keputusan.
Pernyataan itu disampaikan Mantan Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumut Abyadi Siregar (foto), kepada wartawan, akhir pekan lalu. Direktur MATA Pelayanan Publik — NGO yang konsern terhadap pelayanan publik — ini, mengomentari tentang program Gubsu tentang penerapan lima hari sekolah.
Abyadi Siregar, yang dihubungi melalui telepon tersebut langsung tertawa lebar ketika diminta komentarnya terkait rencana ini. Apalagi, alasan penerapan kebijakan itu, menurutnya sangat lawak-lawak dan tidak berorientasi peningkatan kualitas pendidikan.
“Hahahaha, kayaknya Pak Bobby, ingin membuat kebijakan popular seperti (Gubernur) Dedy Mulyadi di Jawa Barat. Sayangnya, kebijakan ini tidak menarik. Apalagi alasannya sangat lawak-lawak,” kata Abyadi Siregar.
Dikatakan Abyadi, seharusnya, diperlukan kajian yang matang dalam membuat rencana program dengan melibatkan semua stakeholder.
Dia bilang, di situlah seharusnya peran strategis Dinas Pendidikan sebagai pembantu gubernur dalam mengelola sektor pendidikan. “Harus bisa memberi pertimbangan dan masukan yang benar kepada gubernur, sehingga tidak salah dalam mengambil keputusan,” katanya.
Kata Abyadi, yang dia baca di media massa, ada beberapa alasan penerapan sekolah lima hari itu. Di antaranya agar murid lebih banyak waktu bersama orang tua. Kemudian, akan berdampak kepada pariwisata Sumut.
Menurut Abyadi, kedua alasan itu tidak menggambarkan upaya mendorong peningkatan kualitas pendidikan Sumut. Tidak bagian dari upaya mendorong murid lebih giat belajar. Bukan juga bagian dari upaya mencerdaskan generasi bangsa. Tapi justru mendorong murid lebih banyak santai dan bermain.
“Padahal, Dinas Pendidikan itu seharusnya berjuang agar anak anak didik Sumut memiliki prestasi akademik. Tapi, arah kebijakan Dinas Pendidikan kita ini, sepertinya lain,” kata Abyadi.
Menurut Abyadi, sebetulnya, orang tua berharap waktu anak-anak lebih banyak di sekolah. Dengan begitu, keseharian waktu anak-anak akan lebih terawasi dan terarah. Karena berada di lingkungan sekolah, dan dalam pengawasan guru.
Kata Abyadi, orang tua pasti tidak menginginkan waktu anak-anak lebih banyak bermain, santai dan keluyuran. “Dengan sekolah hanya lima hari, itu artinya waktu anak-anak lebih banyak bermain, santai dan keluyuran bersama teman-temannya. Tidak terawasi. Nah, justru kondisi seperti inilah yang dikhawatirkan anak-anak semakin nakal,” katanya.
Yang lebih lucu lagi, lanjut Abyadi, alasan sekolah lima hari adalah untuk memberi dampak terhadap pariwisata Sumut. “Ini alasan apa? Maksudnya gimana?” tanya Abyadi sambil tertawa.
Apakah maksudnya, dengan diliburkannya murid pada hari Sabtu, lalu diharapkan anak-anak bersama teman-temannya atau bersama keluarganya, akan mengunjungi objek-objek wisata di Sumut?
Sehingga jumlah kunjungan wisatawan ke objek wisata di Sumut meningkat? “Bila ini alasannya, ini benar-benar konyol. Lawak-lawak. Ini bentuk kegagalan program Dinas Pendidikan Sumut dalam mendorong generasi kita memiliki prestasi akademik,” katanya.
Dikaji Ulang
Sehubungan dengan itu, Abyadi Siregar berharap, sebelum kebijakan ini dituangkan dalam Peraturan Gubernur (Pergub), sebaiknya perlu dikaji ulang lebih dalam.
Kata dia, Dinas Pendidikan Sumut harus segera mengambil inisiatif. Undang semua skateholder pendidikan. “Pak gubernur harus diberi masukan yang benar, sehingga mengambil keputusan yang tepat,” sebutnya.
Abyadi menjelaskan, dalam otonomi daerah, pemerintah daerah memang memiliki kewenangan mengelola pendidikan. Tapi, kewenangan itu jangan ditafsirkan kebablasan. Seharusnya, kewenangan itu dilakukan untuk mendorong prestasi akademik murid.
Misalnya, mengembangkan satuan pendidikan berbasis keunggulan lokal, menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhan daerah dan potensi lokal.
Meningkatkan kualitas pendidikan melalui pemanfaatan sumber daya lokal. Yang lebih penting lagi, merespon kebutuhan masyarakat lebih cepat. “Misalnya, menindaklanjuti keresahan masyarakat atas maraknya pungutan liar di sektor pendidikan. Ini keresahan yang sudah sangat lama. Terutama saat tahun ajaran baru,” katanya.
Kemudian, lanjut Abyadi, merespon tentang kekurangan jumlah satuan pendidikan (sekolah) maupun sarana dan prasarana pendidikan. “Karena, sampai sekarang masih banyak sekolah yang menerapkan masuk pagi dan masuk sore. Artinya, ada siswa masuk pagi, dan ada masuk sore. Ini terjadi akibat kekurangan jumlah sekolah. Ini mestinya jadi kajian penting,” katanya. (m07)













