MEDAN (Waspada.id): Di tengah lumpur yang belum mengering, rumah-rumah yang hancur, dan tangis warga yang kehilangan orang tercinta, Direktur Eksekutif Lembaga Independen Pemerhati Pembangunan Sumatera Utara (LIPPSU), Azhari AM Sinik, menyuarakan kegelisahan yang dirasakan banyak korban bencana: lokasi bencana kini kerap diperlakukan seperti panggung pencitraan.
Azhari menegaskan, bencana banjir dan banjir bandang yang melanda Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat bukan sekadar peristiwa alam, melainkan tragedi kemanusiaan yang menyisakan duka mendalam bagi ribuan keluarga. Karena itu, siapa pun yang datang ke lokasi bencana dituntut untuk membawa empati, bukan kamera semata.
“Jangan datang ke lokasi bencana, apalagi di daerah paling parah, lalu foto-foto selfie sambil tertawa. Tempat itu bukan objek wisata. Di sana ada air mata, ada kehilangan, ada luka yang belum sembuh,” kata Azhari AM Sinik—yang akrab disapa Ari—kepada wartawan di Medan, Kamis (18/12).
Menurut Ari, bagi para korban, setiap sudut lokasi bencana menyimpan kenangan pahit: rumah yang hanyut, ladang yang rusak, hingga anggota keluarga yang belum kembali. Dalam kondisi seperti itu, melihat orang lain berpose ceria di tengah puing-puing justru terasa seperti menampar perasaan mereka.
“Mereka sedang berduka, bahkan sebagian masih tidur di tenda darurat dengan keterbatasan makanan dan air bersih. Lalu ada orang datang, tersenyum, tertawa, berfoto di dekat bantuan. Itu sangat menyakitkan,” ujarnya lirih.
Ari menegaskan, dokumentasi bukanlah hal yang dilarang. Namun, yang dipersoalkan adalah niat dan etika. Foto seharusnya menjadi alat untuk menyuarakan penderitaan korban dan mendorong bantuan, bukan sarana membangun citra pribadi.
“Kalau mau foto, silakan di studio atau bersama keluarga. Jangan di tengah bencana. Jangan jadikan penderitaan orang lain sebagai latar belakang kesenangan kita,” tegasnya.
Kritik LIPPSU ini sejalan dengan penegasan Presiden Prabowo Subianto saat menggelar Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Senin (15/12/2025), yang dihadiri seluruh menteri dan wakil menteri Kabinet Merah Putih. Dalam arahannya, Presiden secara tegas mengingatkan agar pejabat tidak menjadikan lokasi bencana sebagai tempat “wisata”.
Presiden Prabowo menekankan, kehadiran pejabat di lokasi bencana harus membawa manfaat nyata bagi rakyat, bukan sekadar dokumentasi kehadiran.
“Saya mohon jangan pejabat-pejabat datang ke daerah bencana hanya untuk foto-foto dan dianggap hadir. Kita tidak mau ada budaya wisata bencana. Kalau datang, harus benar-benar membantu mengatasi masalah. Rakyat di sana jangan dijadikan objek,” tegas Presiden.
Bagi LIPPSU, pernyataan Presiden tersebut merupakan peringatan keras sekaligus panggilan moral bagi semua pihak—pejabat, tokoh publik, relawan, hingga masyarakat umum—agar menjaga nurani saat berada di tengah penderitaan sesama.
Ari mengingatkan, empati tidak selalu diukur dari seberapa sering seseorang muncul di media sosial, tetapi dari seberapa tulus kehadirannya meringankan beban korban.
“Korban tidak butuh tontonan, mereka butuh bantuan nyata: makanan, obat-obatan, hunian sementara, dan kepastian masa depan. Jangan tambah duka mereka dengan sikap yang melukai perasaan,” katanya.
Di akhir pernyataannya, Ari berharap tragedi bencana ini menjadi cermin kemanusiaan bagi semua pihak. Bahwa di atas segala jabatan, popularitas, dan kepentingan pribadi, masih ada nilai kemanusiaan yang harus dijaga.
“Ketika kita berdiri di lokasi bencana, sejatinya kita sedang berdiri di atas luka orang lain. Maka bersikaplah dengan hati,” pungkasnya. (id06)











