MEDAN (Waspada.id): Ribuan siswa keracunan akibat program Makanan Bergizi Gratis (MBG) seharusnya menjadi pukulan telak bagi nurani publik dan pemerintah.
Ketika 4.000 anak jatuh sakit hanya karena menyantap makanan yang semestinya dirancang untuk menyehatkan, kita tidak sedang menghadapi insiden kecil, melainkan tanda darurat nasional. Program yang diklaim sebagai solusi stunting dan ketahanan gizi justru berubah menjadi ironi: alih-alih menyehatkan, ia mengantarkan anak-anak ke rumah sakit.
Gagasan MBG sejatinya lahir dari semangat mulia. Negara ingin hadir langsung dalam kehidupan anak-anak sekolah, memastikan mereka tidak hanya memperoleh pendidikan, tetapi juga gizi yang menunjang tumbuh kembang. Di atas kertas, program semacam ini terbukti bermanfaat di banyak negara: meningkatkan konsentrasi belajar, menurunkan angka malnutrisi, bahkan menekan absensi. Tetapi antara teori dan praktik selalu terbentang jurang besar. Tanpa standar ketat, tanpa rantai pasok yang higienis, dan tanpa sistem pengawasan yang ketat, idealisme mudah runtuh menjadi bencana.
Insiden keracunan massal yang berulang dalam delapan bulan terakhir memperlihatkan betapa rapuh fondasi program ini. Ia bukan sekadar kesalahan teknis atau kecelakaan sporadis, melainkan kegagalan sistemik: dari pengadaan yang longgar, distribusi yang tidak steril, hingga lemahnya pengawasan. Setiap porsi makanan yang didistribusikan kepada siswa seharusnya melalui uji mutu dan pengawasan mikrobiologi. Fakta ribuan anak justru tumbang menunjukkan negara lalai melaksanakan kewajiban paling mendasar: menjamin keselamatan warganya.
Masalah lain adalah ketidakjelasan sasaran. Apakah MBG ditujukan untuk semua siswa tanpa kecuali, atau seharusnya diprioritaskan bagi mereka yang benar-benar rentan gizi dan hidup di daerah miskin? Tanpa definisi yang tegas, MBG berpotensi menjadi program politik yang menghabiskan anggaran besar, tetapi kehilangan fokus pada mereka yang paling membutuhkan. Alih-alih tepat sasaran, ia berubah menjadi proyek raksasa yang menyedot dana negara dengan efektivitas yang sulit diukur.
Audit Independen Nasi Gratis
Tidak bisa dipungkiri, MBG adalah program yang sarat kepentingan politik. Narasi “gratis” dan “untuk anak-anak” sangat mudah dijual kepada publik. Namun popularitas politik sering kali menutupi rapuhnya kualitas teknis. Di balik gegap gempita peluncuran dan janji manis, nyatanya anak-anak menjadi korban karena standar distribusi dan kualitas tidak dipenuhi. Dalam situasi ini, kita patut bertanya: apakah MBG bermanfaat atau justru lebih banyak mudaratnya?
Jawabannya tidak sederhana. Menutup total program berarti mematikan sebuah gagasan yang sebenarnya memiliki potensi baik. Tetapi membiarkan program berjalan dengan cara lama sama artinya dengan menambah daftar korban. Jalan tengahnya adalah evaluasi total. Pemerintah harus berani melakukan audit independen, melibatkan BPOM, akademisi gizi, lembaga kesehatan, hingga masyarakat sipil. Transparansi wajib ditegakkan: hasil pemeriksaan, sumber kontrak, hingga penyebab keracunan harus diumumkan tanpa menunggu momentum politik.
Diarahkan Ulang
Lebih dari itu, MBG harus diarahkan ulang. Fokuskan pada daerah dengan prevalensi stunting tinggi, libatkan koperasi lokal yang mampu menjaga standar kebersihan, pastikan pengawasan laboratorium dilakukan secara rutin, dan bangun sistem pelaporan real time. Tidak boleh ada kompromi terhadap keselamatan anak-anak.
Pendapat ini bukan seruan emosional untuk menghentikan program secara sembrono. Ia adalah panggilan agar negara mengakui ada kegagalan besar yang harus segera diperbaiki. MBG bisa menjadi warisan kebijakan yang layak dikenang, tetapi hanya jika dijalankan dengan disiplin, transparansi, dan akuntabilitas. Jika tidak, ia hanya akan tercatat sebagai proyek populis yang memakan korban anak-anak bangsa.
Negara tidak boleh lagi bertanya “berapa porsi yang bisa dibagikan”, melainkan “seberapa aman dan efektif porsi itu untuk anak-anak kita”. Jika jawabannya masih ragu, maka duduk bersama, evaluasi total, dan perbaiki sekarang juga. Anak-anak tidak bisa menunggu perdebatan anggaran yang tak kunjung usai, demikian Farid Wajdi Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020.(id23)