MEDAN (Waspada.id): Farid Wajdi selaku Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, pada Selasa (23/9) menyoroti pernyataan Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana yang minta setiap wilayah bersiap penanganan keracunan
makan bergizi gratis (MBG).
Farid Wajdi memaparkan, Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) lahir dari janji politik mulia: memberi asupan gizi seimbang bagi jutaan anak Indonesia, memperbaiki kualitas belajar, menurunkan stunting, sekaligus membuka ruang bagi ekonomi lokal.
Tetapi alih-alih menuai pujian, MBG justru berkali-kali menjadi berita utama karena kasus keracunan massal. Dari Sragen hingga Banggai, dari Bogor hingga Garut, ratusan siswa harus dirawat. Pertanyaan mendesak pun menggema: apakah program sebesar ini hanya akan diingat karena korban yang terus berjatuhan?
Kesalahan paling nyata adalah ambisi yang berlari lebih cepat daripada kesiapan infrastruktur.
Memberi makan jutaan mulut setiap hari menuntut rantai distribusi yang steril, dapur higienis, tenaga terlatih, serta pengawasan ketat. Tanpa fondasi itu, MBG ibarat menyalakan mesin jumbo jet di landasan tanah.
Yang terjadi bukan keberangkatan, melainkan kecelakaan berulang.
Lebih ironis lagi, korban kerap direduksi menjadi sekadar angka statistik. Laporan menyebut “196 siswa keracunan” atau “36 orang dirawat”, seakan penderitaan itu selesai dituliskan dalam digit. Padahal, di balik angka itu ada anak yang meringkuk menahan perih, orang tua yang panik menunggu kabar, dan guru yang dihantui rasa bersalah.
Angka-angka itu adalah wajah, tubuh, dan nyawa, bukan deretan data untuk disajikan dingin dalam konferensi pers.
Di sisi lain, program ini sarat dengan dugaan permainan rente. Sejumlah yayasan yang dekat dengan lingkar kekuasaan disebut ikut menguasai proyek pengadaan.
Guru yang seharusnya fokus mendidik, kini dipaksa ikut mengurus distribusi makanan dan bahkan dipersalahkan bila ada keracunan. Beban moral dan birokrasi menindih mereka, sementara pihak-pihak besar menikmati keuntungan?
Bandingkan dengan India.
Lanjut Farid, dibandingkan dengan negara India, dimana Negeri itu punya Mid-Day Meal Scheme untuk lebih dari 120 juta anak. Pada 2013 ada 23 siswa tewas akibat keracunan di Bihar. Pemerintah India tidak menutup mata: mereka merombak total standar keamanan pangan, dari dapur sentral, laboratorium penguji, hingga keterlibatan komunitas lokal.
Program tetap berjalan, tetapi dengan pengawasan berlapis. Jepang lebih jauh lagi: kyūshoku (makan siang sekolah) diperlakukan sebagai bagian kurikulum. Anak-anak belajar gizi, kebersihan, bahkan asal-usul bahan makanan.
Transparansi dan rasa kepemilikan membuat program berjalan aman dan mendidik.
Indonesia sebetulnya bisa belajar dari dua contoh itu. Namun, yang terlihat sekarang adalah kebijakan tambal sulam.
Alih-alih memperbaiki sistem, yang diatur justru hal remeh—seperti apakah telur harus direbus atau diceplok. Seakan satu butir telur utuh cukup menambal cacat manajemen yang sistemik.
MBG masih bisa menyelamatkan diri, tetapi hanya jika ada keberanian melakukan reformasi menyeluruh. Standar keamanan pangan harus ditegakkan tanpa kompromi. Audit independen dan transparansi anggaran menjadi syarat mutlak. Komunitas lokal—orang tua, sekolah, UMKM—harus dilibatkan bukan sebagai objek, tetapi sebagai pengawas dan mitra. Yang lebih penting, pemerintah harus berani mencopot aktor-aktor yang menjadikan program ini ladang rente.
Visi memberi makan anak bangsa adalah visi yang indah. Namun tanpa integritas dan profesionalitas, ia berubah menjadi mimpi buruk kolektif. Setiap kali ada siswa muntah di ruang kelas, setiap kali ada orang tua resah menjemput anak di rumah sakit, setiap kali guru dipaksa jadi tumbal, reputasi MBG kian tergerus.
Anak-anak tidak boleh menjadi kelinci percobaan dari program yang seharusnya melindungi mereka. Jika pemerintah sungguh peduli, saatnya bertindak tegas: hentikan sikap defensif, lakukan evaluasi total, dan kembalikan MBG pada tujuan sejatinya—memberi gizi, bukan memberi risiko.(id18)