Medan

Membaca Kesiapsiagaan Pemerintah

Membaca Kesiapsiagaan Pemerintah
Kecil Besar
14px

Oleh: Farid Wajdi

Setiap kali bencana melanda, negara terlihat memulai dari titik awal. Air meluap, tanah bergerak, hutan runtuh, dan institusi publik bergerak di belakang irama alam, bukan mendahuluinya.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Fenomena ini tidak dapat dibaca sebagai masalah teknis semata; ada kegagalan struktural dalam membaca risiko serta menerjemahkannya ke dalam kebijakan yang tegas.

Musim hujan selalu mengulang pertanyaan lama: mengapa pemerintah terus hadir setelah keadaan terlanjur memburuk?

Dalam teori modernitas, Anthony Giddens melalui Runaway World (1999) menyebut kondisi organized irresponsibility, ketika institusi memiliki kapasitas pengetahuan luas tetapi justru gagal menggunakan informasi untuk mencegah krisis.

Situasi serupa tampak dalam urusan kebencanaan di Indonesia. Data tersedia, instrumen eksis, sistem peringatan dini berfungsi. Namun rantai komando tidak lincah, koordinasi tidak padu, dan kemauan politik untuk menyentuh akar persoalan sering mengendur.

Kerusakan ekologis, tata ruang yang longgar, serta pengawasan izin yang lemah akhirnya menciptakan kerentanan kronis.

BMKG mengeluarkan peringatan cuaca ekstrem berkali-kali dalam sepekan terakhir. Informasi tersebut muncul jauh sebelum bencana terjadi.

Namun pemerintah daerah kerap baru bergerak saat air sudah menembus pemukiman. Dalam kerangka manajemen risiko, situasi semacam ini memperlihatkan kegagalan menjadikan peringatan dini sebagai pedoman tindakan. Informasi meteorologis berubah menjadi catatan administratif, bukan dasar operasi untuk evakuasi dini, penataan logistik, atau penguatan infrastruktur tanggap darurat.

Guru Besar Kebakaran Hutan IPB, Bambang Hero Saharjo, dalam berbagai pernyataan sejak 2018–2024, menegaskan hubungan antara bencana hidrometeorologi dan degradasi ekosistem—terutama pembukaan hutan, kerusakan DAS, dan lemahnya pengawasan kawasan hulu.

Curah hujan ekstrem hanya pemantik; kerusakan ekologis adalah bahan bakarnya. Banyak banjir bandang memperlihatkan jejak serupa: gelondongan kayu dengan bekas potongan rapi, bukan produk proses alami. Namun pejabat publik sering memilih frasa aman seperti “fenomena alam” atau “cuaca tak terduga”. Pilihan diksi semacam ini mengaburkan masalah struktural di sektor kehutanan dan tata ruang.

Dalam Environmental Geology (2012), Edward A. Keller menjelaskan bencana muncul ketika hazard bertemu kerentanan. Kerentanan sosial muncul dari lemahnya kapasitas respon negara.

Ketika distribusi bantuan tersendat, ketika warga menunggu logistik yang tak kunjung datang, kerentanan meningkat karena kegagalan manajerial, bukan karena curah hujan itu sendiri. Bencana yang semestinya dapat dibatasi akhirnya berkembang menjadi krisis kemanusiaan.

Situasi tersebut tampak dalam berbagai peristiwa banjir dan longsor dalam satu dekade terakhir. Ada warga yang terpaksa mencari makanan secara mandiri karena bantuan tidak tiba tepat waktu.

Dalam kerangka disaster ethics, tindakan tersebut tidak dapat disederhanakan sebagai pelanggaran hukum. Craig Calhoun dalam Emergency Politics (2010) menyebut kondisi darurat selalu menyingkap pertanyaan mendasar mengenai siapa yang bertanggung jawab atas keselamatan warga.

Ketika negara absen pada jam kritis, ruang moral publik bergeser dari kepatuhan menuju kebutuhan mempertahankan hidup.

Setelah bencana mereda, serangkaian janji evaluasi rutin muncul. Audit, penyelidikan, dan rencana perbaikan diumumkan, namun loop masalah kembali berulang setiap tahun. Kritik terhadap pola ini telah muncul sejak lama.

Dalam orasi akademiknya (2004), Emil Salim memperingatkan konsekuensi pembangunan yang mengabaikan daya dukung lingkungan. Ia menyebut negara sering “mendewakan izin” di atas kelestarian ekologis.

Dua dekade berlalu, peringatannya terasa semakin relevan pada konteks banjir bandang yang membawa jejak pembalakan di berbagai daerah.

Kerangka kebijakan global sebenarnya sudah memberi arah. Hyogo Framework for Action (2005–2015) dan Sendai Framework (2015–2030) menegaskan pilar pengurangan risiko: pemahaman risiko, tata kelola risiko, investasi mitigasi, dan kesiapsiagaan. Indonesia mengadopsinya, banyak dokumen strategi pemerintah menggunakan kerangka tersebut.

Namun pelaksanaan kerap berhenti di penyusunan dokumen. Integrasi lintas sektor tidak berjalan. Data BMKG tidak selalu masuk ke perencanaan tata ruang; hasil pemantauan DAS tidak mengunci mekanisme pengawasan izin; peta kerentanan sosial tidak otomatis menggerakkan sistem logistik darurat.

Dalam literatur tata kelola pemerintahan, koordinasi tidak pernah sekadar persoalan teknis. Francis Fukuyama dalam Political Order and Political Decay (2014) menyebut kapasitas negara tidak diukur dari banyaknya institusi, melainkan kemampuan menyatukan fungsi-fungsi tersebut dalam sistem yang bekerja.

Ketika daerah rawan tetap dihuni tanpa mitigasi, ketika tata ruang diabaikan demi kepentingan izin ekonomi, ketika jalur bantuan terhalang oleh birokrasi, kapasitas negara sedang diuji dan hasilnya tidak selalu memuaskan.

Banjir bandang yang membawa kayu hulu memerlukan tindak lanjut yang lebih serius daripada konferensi pers. Audit kawasan hulu, identifikasi pihak yang membuka lahan, investigasi izin yang berpotensi melanggar aturan, serta publikasi hasil audit kepada masyarakat menjadi langkah yang seharusnya muncul. Transparansi adalah syarat awal membangun ulang kepercayaan publik.

Seruan terkait transparansi pernah disampaikan oleh mendiang Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional WALHI, pada 2021: “tanpa keterbukaan data, tidak ada akuntabilitas; tanpa akuntabilitas, tidak ada pemulihan ekologis.”

Pesannya kini terasa sebagai panduan moral bagi pemerintahan yang terus berhadapan dengan bencana berulang.

Kesiapsiagaan bukan sekadar tenda darurat, sirene peringatan, atau posko bencana. Kesiapsiagaan adalah ukuran kapasitas moral negara dalam melindungi warganya.

Konstitusi menegaskan kewajiban melindungi segenap bangsa. Ketika pemerintah tidak hadir secara sigap, publik membaca ketidaksiapan bukan sebagai kekurangan teknis, melainkan sebagai abainya kemauan politik.

Upaya keluar dari siklus berulang memerlukan langkah tegas dari hulu: penegakan hukum lingkungan, revitalisasi hutan lindung, integrasi data risiko lintas sektor, investasi mitigasi struktural, serta distribusi logistik yang bergerak tanpa hambatan.

Pada titik ini, ukuran keberhasilan bukan jumlah bantuan yang disalurkan, melainkan berkurangnya kebutuhan akan bantuan.

Selama bencana terus dibaca sebagai kejutan, institusi publik akan terus hadir dalam posisi terlambat. Dalam dunia kebencanaan, keterlambatan bukan sekadar kekurangan teknis; keterlambatan adalah bentuk lain dari abai.

Negara dituntut tidak hanya mampu merespons, tetapi juga mampu mencegah. Tanpa perubahan paradigma, bencana berikutnya hanya menunggu giliran untuk memaparkan kelemahan yang sama.(Penulis adalah Founder Ethics of Care, Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, dan Dosen UMSU).

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE