Scroll Untuk Membaca

Medan

Mendesak Reformasi Tata Kelola Iklim: Antara Ketimpangan Kebijakan Dan Peran Lokal

Mendesak Reformasi Tata Kelola Iklim: Antara Ketimpangan Kebijakan Dan Peran Lokal
Kecil Besar
14px

MEDAN (Waspada):   Diskusi publik bertema “Lanskap Kebijakan Perubahan Iklim di Indonesia: Refleksi Kritis, Relasi Pusat-Daerah, dan Tantangan” yang dilaksanakan pada 15 Mei 2025 di Aula Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara telah menjadi ruang penting bagi refleksi kolektif atas arah kebijakan iklim nasional dan lokal. 

Kegiatan ini merupakan bagian dari inisiatif diseminasi hasil penelitian 

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Centre for Strategic and International Studies (CSIS), yang pelaksanaannya difasilitasi oleh Program Studi Teknik Lingkungan Universitas Sumatera Utara, dengan menghadirkan para narasumber dari berbagai latar belakang—akademisi, pegiat organisasi masyarakat sipil, hingga perwakilan pemuda. 

Dalam sambutannya, Medelina K. Hendytio selaku Wakil Direktur Eksekutif Bidang Operasional CSIS menegaskan bahwa perubahan iklim merupakan isu masa kini yang dampaknya telah dirasakan secara langsung, seperti meningkatnya suhu, cuaca ekstrem, gangguan kesehatan, serta kerusakan infrastruktur sosial, sehingga menuntut respons kebijakan yang cepat, tepat, dan berkeadilan. 

Ia menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor, khususnya antara lembaga seperti CSIS yang memiliki akses ke ruang kebijakan dan media, dengan universitas yang dekat dengan komunitas dan proses penyusunan kebijakan, guna mendorong implementasi nyata di tingkat pusat dan daerah. 

Dalam konteks lokal, ia menyoroti kondisi Kota Medan dan Sumatera Utara yang menghadapi tekanan ekologis namun memiliki potensi besar di bidang kehutanan dan energi terbarukan yang perlu dioptimalkan. 

Oleh karena itu, kebijakan yang efektif harus disusun bersama aktor daerah agar relevan dan berkelanjutan.

Ia menutup sambutannya dengan harapan agar seminar ini mampu menghimpun perspektif lokal dalam diskusi nasional dan melahirkan rekomendasi kebijakan yang inklusif, adil, dan memperkuat sinergi pusat-daerah dalam membangun arsitektur iklim yang tangguh.

Dalam pemaparan hasil kajian oleh Via Azlia Widiyadi dari CSIS, ditegaskan bahwa Indonesia saat ini belum memiliki satu kerangka hukum khusus mengenai perubahan iklim, yang menyebabkan kebijakan sektoral berjalan dalam kerangka yang tumpang tindih. 

Ketidakhadiran Undang-Undang Perubahan Iklim menjadi titik lemah mendasar dalam menyusun langkah￾langkah strategis dan integratif yang dibutuhkan dalam menghadapi ancaman perubahan iklim yang semakin nyata.

Nilai Ekonomi Karbon

Kritik juga diarahkan pada Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon, yang dinilai terlalu menekankan pada mekanisme perdagangan karbon dan belum secara utuh menangkap aspek integritas lingkungan dan keadilan sosial.

Hal ini berkonsekuensi pada ketimpangan fokus kebijakan, di mana mitigasi lebih mendapatkan perhatian dibandingkan adaptasi.

Dalam kenyataannya, adaptasi justru sangat dibutuhkan pada tingkat lokal karena perubahan iklim menyasar langsung kehidupan masyarakat di desa, pesisir, dan kawasan rawan bencana.

Dalam konteks relasi pusat dan daerah, kajian CSIS menggarisbawahi lemahnya koordinasi, keterbatasan kapasitas teknis di tingkat daerah, serta minimnya pendanaan yang dialokasikan untuk agenda lingkungan hidup dan iklim.

Sebagai contoh, dari total APBD Provinsi Sumatera Utara yang mencapai Rp130 triliun, hanya Rp130 miliar yang dialokasikan untuk sektor
lingkungan, dan bahkan hanya Rp3,5 miliar untuk kegiatan substantif.

Angka ini jelas menunjukkan bahwa isu iklim belum menjadi prioritas dalam perencanaan pembangunan daerah.

Evaluasi Kritis

Dr. Oding Affandi dari Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara memberikan evaluasi kritis terhadap studi CSIS yang dinilainya telah tersusun sistematis dan cukup responsif terhadap
konteks lokal, khususnya Sumatera Utara, melalui pemanfaatan data emisi, kerentanan wilayah pesisir, dan keterkaitan dengan kebijakan nasional seperti UU Cipta Kerja dan Perpres tentang
nilai ekonomi karbon.

Ia menekankan pentingnya integrasi kerangka teoritik seperti governance theory, political economy of climate policy, dan climate justice dalam menganalisis fragmentasi kebijakan, dominasi aktor tertentu, dan lemahnya inklusivitas terhadap kelompok lokal dan rentan.
Selain itu, ia menyoroti pentingnya stakeholder mapping, mekanisme pengaduan, serta integrasi kearifan lokal seperti praktik Hatabosi di Tapanuli sebagai bagian dari proses perumusan kebijakan
yang adil dan berakar pada konteks sosial-politik Indonesia.

Pandangan kritis juga disampaikan oleh Masrizal Saraan dari Pesona Tropis Alam Indonesia (PETAI), yang menyebut bahwa perencanaan pembangunan daerah cenderung bersifat politis dan transaksional, serta tidak berbasis pada sains dan kerangka kebijakan iklim yang adil.

Disharmoni antara UU Cipta Kerja dan komitmen nasional terhadap penurunan emisi turut memperparah persoalan tata kelola. Ia juga menyoroti ketidakterpaduan sistem pelaporan karbon nasional,
seperti SRN-PPI, SIGN-SMART, dan AKSARA, yang menyulitkan daerah untuk melakukan pelaporan dan verifikasi.

Selain itu, banyak daerah belum memahami prinsip dasar proyek karbon,
seperti baseline, additionality, dan permanency, yang pada akhirnya menimbulkan resistensi lokal terhadap proyek-proyek berbasis perdagangan karbon.

Sementara itu, Dony Saputra dari Sumatra Rainforest Institute membawa perspektif penting mengenai kerentanan desa terhadap perubahan iklim.

Menurutnya, desa merupakan wilayah yang paling terdampak namun paling tidak terlindungi. Perubahan iklim telah menyebabkan penurunan
akses air bersih, gangguan pada kesehatan dan gizi, serta mengancam ketahanan pangan masyarakat desa. Ketimpangan ekonomi dan keterbatasan akses terhadap sumber daya menjadikan
petani dan nelayan berada dalam posisi sangat rentan.

Dony menggarisbawahi pentingnya pendekatan struktural yang lebih mendalam, serta perlunya perbaikan koordinasi antar lembaga
dan antar level pemerintahan untuk merespons kerentanan ini secara lebih adil.

Dalam kapasitasnya sebagai akademisi dan kepala program studi, Zaid Perdana Nasution menyampaikan perlunya menjadikan isu perubahan iklim sebagai agenda strategis nasional yang melibatkan lintas sektor dan lintas aktor secara seimbang.

Ia mengusulkan pendekatan Social Network Analysis (SNA) sebagai alternatif terhadap pendekatan teknokratik yang selama ini
dominan.

Pendekatan ini memungkinkan pengungkapan relasi informal dan aliran informasi nyata antar aktor yang selama ini tidak terpetakan oleh analisis kebijakan konvensional.

Ia jugan mengajukan ide penting tentang pendirian Kementerian Perubahan Iklim dan Keberlanjutan, sebagaimana telah dilakukan oleh negara-negara seperti India, UEA, dan Kanada.

Menurutnya, tanpa kelembagaan yang kuat dan fokus, isu iklim akan terus tersubordinasi oleh kepentingan jangka pendek sektoral.

Perwakilan pemuda dari Himpunan Mahasiswa Teknik Lingkungan USU, Fauziah Khairunnisa, menyuarakan kritik bahwa pelibatan generasi muda dalam isu lingkungan selama ini bersifat administratif dan tidak menyentuh proses pengambilan keputusan.

Ia menyoroti minimnya anggaran serta kurangnya dukungan terhadap inisiatif riset dan kampanye oleh pemuda dan NGO, meskipun dalam praktiknya pemuda sering kali lebih dipercaya oleh masyarakat dibanding
pemerintah.

Pandangan ini menegaskan bahwa partisipasi publik harus dimaknai sebagai pengakuan atas kapasitas dan kontribusi substantif, bukan sekadar representasi simbolik.

Melalui diskusi ini, terang bahwa krisis iklim yang dihadapi Indonesia bukan hanya menyangkut aspek teknis, melainkan juga mencerminkan krisis tata kelola, krisis keberpihakan, dan krisis keadilan.

Upaya perbaikan ke depan tidak cukup hanya dengan menambah program atau memperluas instrumen kebijakan, tetapi harus dimulai dengan penguatan kerangka hukum, pembenahan kelembagaan, serta pembukaan ruang dialog dan partisipasi yang sejati bagi
masyarakat sipil dan aktor lokal.

Komitmen politik dan keberanian untuk mereformasi struktur yang selama ini timpang menjadi syarat mutlak bagi keberhasilan agenda iklim Indonesia.

Sebab, tanpa tata kelola yang adil, transparan, dan partisipatif, krisis iklim akan terus menjadi ancaman laten yang gagal ditangani secara memadai. (cpb)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE