MEDAN (Waspada.id): Penggiat dan Pemerhati Pendidikan Sumatera Utara, Dr.Hasan Basri, MM, Rabu (15/10) mengatakan, Sekolah Garuda versi Pemerintah melalui Kemendikti (Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi) merupakan program strategis yang penting karena beberapa alasan.
Pertama, pemerataan akses pendidikan unggul Sekolah Garuda akan dibangun di daerah yang selama ini memiliki keterbatasan akses pendidikan berkualitas, terutama wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar).
Dengan demikian, diharapkan tidak hanya siswa kota besar yang menikmati pendidikan unggul, tetapi juga siswa di wilayah terpencil.
Kedua, inkubator talenta unggul / kepemimpinan Sekolah Garuda dirancang agar menjadi wahana “inkubator pemimpin”, mempersiapkan siswa agar bisa bersaing di tingkat global, mengintegrasikan karakter, kepemimpinan, dan kompetensi tinggi.
Ketiga, Standar kurikulum yang tinggi + berbasis riset dan inovasi
Kurikulum akan mengandung elemen riset, pembelajaran berbasis proyek (project-based learning), dan pengabdian masyarakat sebagai bagian integral.
Pemerintah juga menetapkan bahwa sekolah ini akan menggabungkan kurikulum nasional dan aspek internasional (misalnya IB) untuk mendekatkan dengan standar global.
Keempat, efisiensi institusional & transformasi dari sekolah yang ada. Tidak semua sekolah Garuda dibangun dari nol. Ada skema “Sekolah Garuda Transformasi”.
Yaitu memperkuat, membina, dan meng-upgrade sekolah SMA/MA yang sudah ada agar punya kualitas unggul. Targetnya: hingga 2029, ada 20 sekolah baru dan 80 sekolah transformasi.
Kelima, Fokus STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics)
Pemerintah menegaskan bahwa SMA Unggulan Garuda akan fokus pada materi STEM, bukan ilmu sosial, karena pandangan bahwa Indonesia butuh penguatan kompetensi STEM agar bisa bersaing dan mendukung industri teknologi nasional.
Oleh sebab itu, sekolah ini dianggap sebagai pre-university yang kurikulumnya jauh di atas rata-rata SMA biasa.
Keenam, dukungan beasiswa / jaminan kelanjutan pendidikan
Siswa lulusan dipersiapkan agar bisa melanjutkan ke perguruan tinggi terbaik, termasuk luar negeri. Adanya hubungan dan kemungkinan beasiswa
Dipertanyakan
Lanjut Hasan Basri, jika ditilik dari versi riset/kritik/sudut pandang akademik/pakar, maka pendapat yang mengemuka antara
sejumlah pakar dan riset (atau opini akademik) menyoroti bahwa urgensi dan pendekatan Sekolah Garuda perlu dipertanyakan.
Berikut beberapa poin kekritisan: Pertama, kurangnya kajian mendalam/basis data lokal.
Salah satu kritik dari pakar di UNAIR menyebut bahwa pembangunan SMA Unggulan Garuda belum memiliki urgensi yang jelas, karena belum didasarkan atas kajian mendalam atau data peta pendidikan yang valid.
Dengan kata lain, kebijakan ini tampak top-down dan ambisius tanpa fondasi penelitian kuat yang mendasari pemilihan lokasi, kebutuhan, dan dampaknya.
Kedua, risiko menciptakan kesenjangan/elitisme. Beberapa pihak memandang bahwa sekolah unggulan sering kali membawa konsekuensi stratifikasi pendidikan: siswa yang sudah cukup mampu akan mendapat akses lebih dan fasilitas lebih baik, sementara sekolah reguler bisa tertinggal.
Kritik ini mengingatkan bahwa negara pernah memiliki RSBI/SBI yang akhirnya dihapus karena dianggap diskriminatif.
Ketiga, fokus sempit ke STEM — masalah muatan sosial budaya/kepekaan lokal.
Ketika pemerintah memutuskan fokus pada STEM dan “mengurangi” elemen ilmu sosial, ada kekhawatiran bahwa siswa akan kehilangan kepekaan sosial, kesadaran budaya, dan kemampuan memahami persoalan lokal.
Menurut kritik, pendidikan tidak bisa hanya teknis; harus menyeluruh mencakup aspek sosial, humaniora, dan nilai lokal agar siswa tidak kehilangan identitas dan kepekaan terhadap masyarakat.
Keempat, isu kewenangan/koordinasi antar kementerian. Ada argumen bahwa pembangunan sekolah menengah (SMA) adalah ranah Kementerian Pendidikan Kebudayaan (Pendidikan Dasar dan Menengah), bukan semata tanggung jawab Kemendikti.
Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang koordinasi kebijakan dan batas kewenangan.
Kelima potensi kegagalan implementasi / beban operasional
Membangun sekolah baru di daerah sulit, memasang guru berkualitas tinggi, menyediakan fasilitas riset, menjamin pendanaan berkelanjutan — semua itu memerlukan sumber daya besar dan manajemen yang sangat baik.
Jika tidak, program bisa gagal atau tidak berkelanjutan. (Catatan: kritik semacam ini umum muncul dalam literatur saat kebijakan pendidikan elit baru diperkenalkan, meskipun belum ada data empiris panjang untuk Sekolah Garuda sebab masih baru).
Maka, kata Hasan Basri Sekolah Garuda jika ditilik versi pemerintah urgensi Sekolah Garuda adalah untuk memperluas akses ke pendidikan unggul, mempersiapkan talenta masa depan, dan menjembatani kesenjangan kualitas sekolah.
Sedangkan dari sisi riset & pakar, urgensi itu harus diuji lebih kritis: adakah bukti empiris bahwa program ini efektif? Apakah risikonya terhadap kesenjangan dan elitisme bisa dikendalikan?
“Karena program ini relatif baru, belum banyak hasil penelitian jangka panjang yang dapat membuktikan keberhasilan atau kegagalannya. Kalau dari kepentingan jangka panjang mesti semua sekolah seperti sekolah garuda inilah,” ujar Hasan Basri.(id18)