MEDAN (Waspada): Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Medan meminta umat Islam untuk tidak melakukan pernikahan beda agama, karena itu mengingkari ayat Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah ayat 221, yang secara tegas melarang pernikahan seorang muslim dengan seorang musyrik dan pernikahan tersebut adalah haram.
“MUI merasa berkepentingan memberi penjelasan kepada umat bahwa pernikahan beda agama itu adalah haram dan tidak sah. Apabila ada yang menganggap itu sah, maka orang tersebut murtad dari agama Islam karena sudah mengingkari ayat Allah SWT,” ujar Ketua Umum MUI Kota Medan, Dr Hasan Matsum, M.Ag (foto), Rabu (9/3).
Hal ini ditegaskannya terkait menanggapi kasus viral perempuan berjilbab yang menikah di gereja St. Ignatius, Krapyak Kota Semarang, Jawa Tengah. Video pernikahan diunggah pada Minggu 6 Maret 2022, tampak perempuan berhijab mengenakan gaun panjang berwarna putih, dengan seorang mempelai pria mengenakan jas hitam. Di tengah keduanya, tampak seorang pendeta yang memimpin proses pernikahan ala gereja
Dikatakan Hasan Matsum, larangan pernikahan beda agama itu perlu terus diingatkan dan menjadi perhatian kepada masyarakat. Karena terkadang muncul praktek-praktek kasus itu di media, sehingga muncul opini dan persepsi seolah-olah beda agama itu sah.
“Perintah atau larangan menikah antara seorang muslim dan non muslim sudah jelas dan tidak ada perbedaan ulama. Kalau pernikahan itu terjadi, maka pernikahan itu batal dalam hukum Islam,” katanya.
“Kita sebagai umat Islam wajib memegang agama Allah SWT yang dibawa Rasulullah SAW dalam rangka ketenangan hidup kita di dunia dan akhirat kelak,” tegasnya lagi.
Dijelaskan Hasan Matsun, selain ditegaskan dalam Al Qur’an, juga dinyatakan dalam fatwa MUI bahwa pernikahan beda agama haram dan tidak sah. Hal itu dimuat dalam Fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama.
Hal itu juga sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pada Pasal 2 Ayat 1 berbunyi perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
“Ayat 2 berbunyi tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Artinya sebuah perkawinan menurut agamanya sah, maka sah lah pernikahan itu dan begitu juga sebaliknya,” kata Hasan.
Lanjut Hasan Matsum, sesuai narasi yang dibuat dalam berita viral pernikahan di Semarang itu dengan pernyataan konselor yakni pernikahan itu berbeda agama, mungkin memang perempuan itu adalah muslimah. Tapi, bisa saja perempuan berjilbab itu bukan muslimah, karena diketahui sudah lazim bahwa Kristen ortodok itu menggunakan kerudung atau hampir sama dengab jilbab yang dipakai perempuan muslimah.
“Jadi harapan kita yang ditayangkan itu adalah seorang perempuan Kristen ortodok yang memakai kerudung. Tapi kalau lah memang perempuan itu seorang muslimah sesuai diakui konselor, maka wajib dipahami pernikahan itu tidak sah dan dalam pandangan hukum Islam selamanya mereka melakukan perzinahan,” tutur Hasan Matsum. (h01)
Teks foto
Ketua Umum MUI Kota Medan, Dr Hasan Matsum, M.Ag.Waspada/ist