MEDAN (Waspada) Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Medan, Dr H Hasan Matsum, MAg, menyatakan pentingnya umat Islam untuk mengetahui dan memahami mengenai harta benda dalam perkawinan. Sebab, apabila perselisihan dalam perkawinan terjadi hingga berujung perceraian, biasanya harta bersama akan menjadi ajang persengketaan di antara pihak suami dan isteri.
Hal ini dikatakan Hasan Matsum saat membuka serta sebagai narasumber di acara Seminar Penentuan Harta Bersama dan Harta Pribadi dalam Pembagian Waris oleh Komisi Fatwa MUI Kota Medan, Kamis (7/3) di ruang aula kantor MUI Kota Medan.
Hadir juga sebagai narasumber Ketua Komisi Fatwa MUI Sumut, Dr H M Amar Adly, Lc, MA dan Sekretaris Komisi Fatwa MUI Medan Dr Imam Yazid, MA, dengan peserta dari pengurus MUI sekecamatan Kota Medan dan mahasiswa.
Dijelaskan Hasan Matsum, melihat didalam Undang-Undang Perkawinan, maka harta benda perkawinan itu dibagi dua, yaitu yang disebut harta bersama dan harta asal atau harta bawaan. Dalam Pasal 35 ayat 1 UU Perkawinan disebutkan bahwa harta bersama merupakan harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Harta bersama atau disebut juga harta gono gini dapat bersumber dari suami saja, istri saja, atau dari suami dan istri.
“Banyak sekarang terjadi bahwa harta bersama itu bukan hanya sekadar harta suami, atau harta istri, tetapi harta yang bersama-sama dihasilkan oleh suami dan istri. Harta bersama tersebut dapat diatasnamakan suami atau istri, tergantung dari kesepakatan yang telah dibuat suami dan istri,” ucap Hasan Matsum.
Ia juga menekankan bahwa setiap perjanjian atau transaksi yang dibuat dengan pihak ketiga dengan jaminan harta bersama harus dilakukan dengan persetujuan kedua belah pihak suami dan istri. Sementara harta asal merupakan harta yang dipunyai oleh masing-masing suami atau istri sebelum perkawinan berlangsung, termasuk hadiah atau warisan.
“Jadi harta warisan itu meskipun diperoleh didalam masa perkawinan itu tetap dijadikan sebagai harta bawaan atau harta asal. Harta asal dimiliki secara utuh dan mutlak oleh suami dan istri. Harta ini tercatat sebagai milik pribadi,” tuturnya.
Sementara M Amar Adly dalam materinya Ketentuan Hukum Harta Pribadi Dalam Perspektif Hukum Islam, menyatakan, untuk menentukan harta pribadi/bawaan, maka dapat membuat perjanjian kawin. Dimaba perjanjian kawin adalah suatu perjanjian mengenai harta benda suami istri selama perkawinan mereka, yang menyimpang dari ketentuan yang telah ditetapkan dalam undang-undang.
“Perjanjian kawin diatur di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata , UU Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di mana diatur bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing yakni hukum agama, hukum adat atau hukum-hukum yang lain,” paparnya. (h01)