MEDAN (Waspada): Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sumatera Utara, melalui Bidang Hukum, HAM, dan Perundang-Undangan, telah menggelar acara penyuluhan yang membahas pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan dalam pandangan hukum positif dan hukum syari’ah. Acara berlangsung di Aula Hotel Marina, Kisaran Sabtu lalu.
Ketua Umum MUISU, Dr.Maratua Simajuntak dalam pidatonya menyebutkan, persoalan hukum perkawinan tidak bisa dianggap sepele. Setiap permasalahan yang muncul harus segera dicari solusinya.
“Saya berharap acara ini menjadi platform untuk mengulas signifikansi perkawinan dalam berbagai dimensi kehidupan manusia, seperti aspek sosial, keagamaan, dan hukum,”ujar Maratua.
Ketua Bidang Hukum HAM dan Perundang-Undangan MUISU,Dr.H.Abdul Hamid Ritonga bersama Wakil Jamik Asmur, SH, SpN dan Sekretaris H.Syafaruddin Lubis,SH,MSi,Wakil Salamuddin Siagian, Bendahara Drs.H.Sotar Nasution, menyebutkan kegiatan ini dalam rangka memberikan pemahaman yang mendalam mengenai pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan dengan perspektif yang holistik.
“Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Utara menggelar acara penyuluhan hukum yang berjudul “Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan Dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Syariat Islam”. Acara yang digelar di Hotel Marina Kisaran 25 s/d 26 Agustus,”ujar Abdul Hamid.
Kata dia acara itu menghadirkan pembicara, Dr. H. Saripuddin Daulay, S.Ag, M.Pd, selaku Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Asahan,dari MUI Kab Asahan Salman Abdullah Tanjung dan narasumber dari Pengadilan Negeri Nelly Rakhmasuri.
Narasumber Nelly Rakhmasuri Lubis, S.H., M.H., yang merupakan Hakim Pengadilan Negeri Kisaran, menjabarkan Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hukum Positif.
Kata dia, perkawinan dianggap sebagai perjanjian yang memiliki akibat hukum dan dimensi ibadah yang sangat penting. Manusia memerlukan teman hidup untuk mencapai ketentraman, kedamaian, dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga. Dengan perkawinan, individu dapat membentuk keluarga, masyarakat, dan bahkan bangsa.
Perkawinan beda agama, meskipun bukan hal baru dalam masyarakat Indonesia yang multikultural, tetap menuai kontroversi. Hal ini disebabkan UU No 1 Tahun 1974 dinilai tidak sepenuhnya mengakomodasi permasalahan perkawinan beda agama.
Beberapa pandangan muncul mengenai hal ini, mulai dari pandangan bahwa perkawinan beda agama adalah pelanggaran terhadap UU, hingga pandangan yang mengizinkan perkawinan semacam itu dengan alasan tertentu.
Narasumber menekankan bahwa berdasarkan hukum positif yang berlaku, perkawinan beda agama tidak diizinkan di Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur secara eksplisit mengenai perkawinan beda agama, sehingga pernikahan semacam itu belum dapat diakui. Pernikahan beragama Islam dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA), sementara pernikahan beragama selain Islam dicatatkan di Kantor Catatan Sipil (KCS).
Narasumber Dr. H. Saripuddin Daulay memaparkan pandangannya mengenai esensi perkawinan dari dua sudut pandang yang berbeda, yaitu hukum positif dan hukum syariat Islam.
Menurutnya, perkawinan memiliki peran yang sangat penting dalam struktur masyarakat, khususnya dalam konteks hukum Islam. Ia menjelaskan bahwa “Perkawinan adalah simpul sakral antara pria dan wanita, yang diberkahi oleh norma agama dan juga memiliki legalitas dalam koridor peraturan hukum,”paparnya.(m22)
Waspada/ist
Dr.H.Abdul Hamid Ritonga dan panitia kegiatan bersama
pembicara poto bersama.