MEDAN (Waspada): Komisi Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara (MUISU) menggelar muzakarah dengan thema, Prosedur pengambilan hak rakyat untuk kepentingan negara secara prespektif hukum dan syariah. Kegiatan berlangsung di Aula MUISU, Minggu (24/9).
Tampil sebagai moderator Dra Hj Armauli Rangkuti, MA. Pembicara, Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS.,CN selaku Pakar Hukum Agraria dan Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum USU. Dr. Farid Wajdi, SH., M.Hum selaku Ketua Yudisial RI 2015-2020/Ketua Majelis Hukum & HAM PW Muhammadiyah Sumut.
Hadir pula Ketua Bidang Fatwa Ahmad Sanusi Luqman bersama Sekretaris Dr Irwansyah dan Kordinator Dr. Arso dan pengurus lainnya serta ratusan peserta.
Dalam paparannya, Prof Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN menyampaikan konflik agraria terjadi karena negara tidak menghormati tanah milik rakyat.
Menurutnya, konflik agraria yang terjadi di masyarakat umumnya jadi persoalan besar,jika pelakunya itu yang berhadapan adalah rakyat dengan negara.
Sungguhpun pada awalnya dipicu oleh perselisihan pengusaha dengan rakyat tetapi ujungnya pengusaha selalu dibela oleh negara sehingga konflik itu berujung menjadi konflik rakyat dengan negara juga. Bila negara sudah berhadapan dengan rakyat dalam persoalan tanah ini, maka negara lah yang dianggap pada posisi yang benar karena negara di beri mandat untuk menyelenggarakan urusan kepentingan umum.
Maka sangat aneh jika ada persoalan tanah di negara ini lalu rakyat yang jadi salah dan dianggap sebagai penyebabnya. Pada hal dalam teori kepemilikan tanah kita,karena rakyat adalah pemilik tanah di negara ini maka seharusnya negara tidak boleh menyalahkan pemilik jika pemilik tanah itu tidak mau memberikan miliknya itu pada pihak lain tanpa ada konvensasinya kepada pemilik ini, apalagi memaksa pemilik tanah keluar dari tanah.
Tetapi jika dalam negara yang menganut raja adalah pemilik tanah dan atau negara seperti di negara komunis itu berhaklah raja atau negara itu mengusir rakyat nya untuk keluar dari tanahnya jika tanah itu dipakai oleh negara, karena rakyat bukan pemilik tanah.
Padahal, sambung Prof Dr. Muhammad Yamin, jika kajian diskusi ini dilihat dari persoalan tanah Melayu Kampung Tua Rempang,bahwa pemerintahlah yang berbuat salah atas tanah milik masyarakat desa.
Padahal amanat Undang Undang ke negara dalam mengurusi tanah hanyalah sebagai penguasa tanah bukan sebagai pemilik tanah.
“Yang pasti beda kewenangan isi menguasai dengan kewenangan isi memiliki tanah. Mari kita lihat pasal 2 ayat 2 Undang Undang Pokok Agraria, hak yang diberikan pada negara namanya adalah Hak Menguasai Negara yang kewenangannya tidak memiliki tanah, maka negara tidak boleh bertindak sebagai pemilik tanah,” sebutnya.
Sebab sambung dia, hak menguasai hanya mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
Hal lain disebutkannya, agar negara tidak salah kaprah lagi di lokasi lain perlulah negara sadar sesadar sadarnya jika dia boleh memaksakan dirinya sebagai pemilik tanah pada tanah orang yang sudah ada miliknya.
Sekalipun tanah itu berada dalam negara republik Indonesia tetap negara hanya benar dalam koridor hukum agraria menjalankan hak atas tanahnya sebesar hak menguasai negara (HMN) yang yang ada padanya. Atau jika negara menjalankan haknya itu menjadi pemilik tanah di negara ini siap-siap lah kekacauan kepemilikan tanah akan muncul terus di atas tanah.
Sementara, Dr. Farid Wajdi, SH., M.Hum dalam paparannya menyebutkan, status tanah yang hak milik pribadi wajib dilindungi oleh negara/pemerintah dan dijamin hak-haknya secara penuh. Tidak seorang pun termasuk pemerintah boleh mengurangi, mempersempit atau membatasinya. Pemiliknya berkuasa atas miliknya dan berhak menggunakan atau memanfaatkannya dalam batas- batas yang dibenarkan oleh Syara’ atau Hukum Islam.
Ketua Bidang Fatwa Ahmad Sanusi Luqman menyampaikan kegiatan mendapat respon dari peserta yang hadir lebih 100 orang. Hal ini diharapkan membuka wawasan peserta terkait sistem pertanahan secara syariah.
Ahmad Sanusi juga menyampaikan bahwa hasil Ijtimak Ulama Komisi Fatwa di Jakarta tahun 2021 isinya antara lain, pemerintah wajib memberi perlindungan hukum terhadap masyarakat yang menghadapi sengketa terhadap hak kepemilikan atas tanah.(m22)











