Scroll Untuk Membaca

Medan

Pejabat Pemprovsu Yang Dirugikan, Jalur Hukum Tersedia Dan Sah Digunakan

Pejabat Pemprovsu Yang Dirugikan, Jalur Hukum Tersedia Dan Sah Digunakan
Founder Ethics of Care juga Anggota Komisi Yudisial (KY) 2015-2020, Assoc. Prof. Dr. Farid Wadji, SH, MHum.Waspada.id/Ist
Kecil Besar
14px

MEDAN (Waspada.id): Langkah Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution dalam melakukan rotasi dan mutasi besar-besaran di tubuh birokrasi provinsi telah menimbulkan kegelisahan yang tak bisa lagi disembunyikan.

Banyak pejabat mendadak dinonjobkan, diturunkan eselon, bahkan dipaksa mundur secara halus. Di permukaan, kebijakan ini dibungkus jargon “penyegaran organisasi.” Namun di baliknya, publik mulai membaca pola: ada upaya mengonsolidasikan kekuasaan dengan menyingkirkan mereka yang dianggap tidak sejalan secara politik.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Hal itu ditegaskan Founder Ethics of Care, Assoc. Prof. Dr. Farid Wajdi, SH, MHum, kepada Waspada.id menanggapi mundurnya dua pejabat eselon II Pemprovsu, yakni Kadis Perkim Hasmirizal dan Kadis Ketapang TPH Rajali secara mendadak dan hampir bersamaan, Selasa (21/10/2025).

Selain itu, merespon banyaknya pejabat di lingkungan Pemprovsu mundur, dinonjobkan, ada turun dari eselon 2 ke eselon 3 masa Gubernur Sumut dijabat Bobby Nasution.

Farid Wajdi menyebut, dalam konteks hukum administrasi negara, setiap tindakan pejabat publik, termasuk kepala daerah, wajib tunduk pada asas legalitas, kepastian hukum, proporsionalitas, dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).

Mutasi dan demosi bukan sekadar kewenangan, melainkan bentuk keputusan tata usaha negara (KTUN) yang memiliki akibat hukum langsung bagi pejabat yang terkena.

‘’Karena itu, setiap keputusan seperti itu harus dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis dan administratif,’’ tandas mantan anggota Komisi Yudisial (KY) tersebut.

Bila dasar hukumnya rapuh, lanjut Farid, tidak didukung evaluasi kinerja, atau dilakukan demi kepentingan politik, maka keputusan itu dapat dikualifikasikan sebagai maladministrasi atau penyalahgunaan wewenang.

Farid pun mengungkapkan bahwa rotasi jabatan sejatinya merupakan instrumen manajemen ASN untuk meningkatkan efektivitas birokrasi. Namun ketika dilakukan secara selektif dan beraroma politik, maka prinsip meritokrasi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN menjadi korban pertama.

UU itu menegaskan promosi dan mutasi jabatan harus didasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja, bukan pada loyalitas atau kedekatan personal. Begitu faktor subjektif menjadi penentu, yang lahir bukan lagi birokrasi profesional, melainkan birokrasi feodal yang hidup dari restu penguasa.

Lebih ironis lagi, kata Farid, pengawasan terhadap tindakan semacam ini tampak tumpul. Kementerian PAN-RB dan Badan Kepegawaian Negara/Daerah (BKN/D), DPRD, hingga Inspektorat seolah kehilangan daya gigit.

Padahal, lanjutnya, salah satu tujuan reformasi birokrasi adalah meniadakan ruang bagi patronase politik dalam pengisian jabatan publik. Bila lembaga pengawas diam, maka pelanggaran etika pemerintahan akan dibiarkan menjadi kebiasaan. ‘’Birokrasi pun berubah menjadi panggung loyalitas, bukan ruang profesionalisme,’’ tandasnya.

Untuk itu, Farid menyarankan bagi pejabat yang merasa dirugikan, jalur hukum tersedia dan sah digunakan. Gugatan dapat diajukan ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagaimana diatur dalam Pasal 53 UU No. 51 Tahun 2009, apabila keputusan mutasi atau pemberhentian dinilai melanggar peraturan perundang-undangan atau asas kepatutan administrasi.

Selain itu, laporan ke Ombudsman RI bisa menjadi langkah awal untuk menilai adanya indikasi maladministrasi atau penyalahgunaan wewenang.

Namun sayangnya, kata Farid, banyak pejabat memilih diam, ketakutan mengalahkan keberanian hukum. Padahal, keberanian menggugat bukan bentuk pembangkangan, tetapi ekspresi integritas ASN terhadap hukum yang seharusnya melindungi mereka.

Yang paling berbahaya dari semua ini bukan sekadar mutasi yang bermasalah, melainkan rasa takut sistemik yang menular di kalangan birokrat. ‘’Ketika aparatur takut bersuara, maka negara sedang menuju otoritarianisme administratif, rezim yang tampak demokratis di permukaan, tetapi sesungguhnya dikendalikan oleh logika kekuasaan, bukan hukum,’’ ucapnya.

Farid pun menyebut, birokrasi Sumatera Utara tidak boleh dibiarkan terseret dalam politik balas budi. Pemerintahan yang sehat ditopang oleh netralitas aparatur dan supremasi hukum, bukan loyalitas kepada figur.

‘’Jika pejabat publik diganti bukan karena gagal bekerja, melainkan karena gagal berpolitik, maka kehancuran tata kelola hanya tinggal menunggu waktu,’’ jelasnya.

Farid menambahkan, kekuasaan bisa berganti, tetapi jejak penyalahgunaan wewenang akan abadi dalam catatan hukum.

‘’Kepala daerah berhak memimpin, tetapi tidak berhak mempermainkan hukum demi kepentingan pribadi atau politik. Karena pada akhirnya, sejarah tidak akan mengingat siapa yang paling berkuasa, melainkan siapa yang paling beradab dalam menggunakan kekuasaannya,’’ tandasnya.(id96)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE