Scroll Untuk Membaca

Medan

Pemanggilan Gubernur Di Sidang Korupsi Topan Memiliki Bobot Moral Dan Politik Yang Besar

Pemanggilan Gubernur Di Sidang Korupsi Topan Memiliki Bobot Moral Dan Politik Yang Besar
Farid Wadji, mantan anggota KY dan founder Ethics of Care.Waspada.id/Ist
Kecil Besar
14px

MEDAN (Waspada.id): Pemanggilan Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution dalam sidang berikutnya di kasus korupsi proyek jalan di Sumut senilai Rp165 miliar yang melibatkan tersangka eks Kadis PUPR Sumut, Topan Ginting, memiliki bobot moral dan politik yang besar.

Hal itu dikatakan mantan anggota Komisi Yudisial (KY), Assoc. Prof. Dr. Farid Wajdi, SH, M.Hum dalam perbincangan dengan Waspada.id di Medan, Kamis (25/9/2025).

Farid pun menyebut kasus korupsi proyek jalan di Dinas PUPR Sumatera Utara yang menyeret Topan Ginting sejatinya bukan sekadar perkara suap antar-pejabat teknis dan kontraktor.

Di balik angka-angka anggaran, pergeseran dana lintas dinas, hingga praktik rekayasa proyek, tersimpan pertanyaan lebih besar: siapa sesungguhnya pengendali permainan?

Pertanyaan itu semakin mengemuka setelah majelis hakim meminta jaksa KPK menghadirkan Gubernur Sumatera Utara dan Pj Sekda Sumut saat itu, sebagai saksi, kata Farid.

Jelas permintaan ini langsung menyulut sorotan publik. Apakah kehadiran seorang kepala daerah di ruang sidang Tipikor akan menjadi kunci untuk membuka simpul korupsi yang lebih besar, atau justru hanya menjadi episode dramatis tanpa makna hukum yang kuat?

‘’Secara yuridis, langkah ini sah dan wajar. KUHAP memberi ruang kepada pengadilan untuk memanggil siapa pun yang dianggap mengetahui rangkaian peristiwa, termasuk pejabat tinggi,’’ sebutnya.

Dalam konteks kasus ini, kata Farid, hakim ingin mendalami dugaan adanya pergeseran anggaran dari sejumlah dinas ke Dinas PUPR.

‘’Di titik inilah keterlibatan gubernur dianggap relevan, karena setiap kebijakan strategis terkait anggaran daerah tidak mungkin berjalan tanpa otoritas kepala daerah,’’ tandasnya.

Dengan kata lain, memanggil Gubernur Bobby Nasution bukanlah sekadar gimmick, melainkan upaya mengurai alur kebijakan yang melatari kasus suap ini.

‘’Namun, secara hukum, kehadiran saksi kelas berat tidak otomatis membuat perkara lebih terang. Saksi hanya bisa menerangkan sejauh yang ia ketahui,’’ jelasnya.

Farid pun menyebut, jika keterangan yang diberikan sebatas formalitas, pergeseran anggaran adalah prosedur sah dalam tata kelola keuangan daerah, tanpa menyentuh siapa yang memanfaatkan celah kebijakan, maka sidang tidak akan banyak berbeda dari sebelumnya.

‘’Keterangan saksi akan benar-benar berarti hanya bila mampu dihubungkan dengan bukti lain seperti dokumen resmi, notulen rapat, komunikasi antarpejabat, atau kesaksian lain yang mengaitkan perintah politik dengan praktik koruptif di lapangan,’’ ucapnya.

Di sisi lain, lanjut Farid, pemanggilan ini memiliki bobot moral dan politik yang besar. Publik selama ini merasa jenuh dengan pola persidangan korupsi yang berhenti di level pelaksana. Kepala dinas ditangkap, kontraktor dipenjara, tetapi rantai perintah di atasnya tak pernah terungkap.

Kehadiran seorang gubernur di kursi saksi dapat mengirim pesan penting: tidak ada jabatan yang kebal dari proses hukum. Ini sekaligus menguji komitmen KPK dan pengadilan untuk benar-benar menelusuri “sutradara” di balik drama korupsi, bukan hanya menyalahkan aktor di panggung depan.

Tetapi di sinilah tantangan terbesarnya. Saksi pejabat tinggi sering kali memiliki ruang manuver untuk bersikap hati-hati, bahkan defensif. Mereka dapat berlindung pada prosedur birokrasi, menggunakan bahasa normatif, atau mengalihkan tanggung jawab ke pejabat bawahan.

‘’Tanpa kecermatan jaksa dan keberanian hakim untuk mengajukan pertanyaan tajam, persidangan berisiko berakhir dengan jawaban diplomatis yang tak menyingkap apa pun,’’ tambahnya.

Karena itu, urgensi pemanggilan ini tidak hanya terletak pada kehadiran sosok besar, melainkan pada kualitas pemeriksaan di ruang sidang.

Jika jaksa mampu menautkan keterangan gubernur dengan bukti konkret, maka terang benderanglah jalur bagaimana kebijakan daerah bisa bertransformasi menjadi ladang suap. Namun bila pertanyaan hanya berputar di permukaan, publik akan kembali disuguhi tontonan tanpa substansi.

Pengadilan Tipikor kini dihadapkan pada kesempatan langka. Menghadirkan seorang kepala daerah bukanlah hal rutin, dan momentum ini bisa menjadi penentu arah kasus: apakah ia akan tercatat sebagai perkara yang berhasil menyingkap jaringan kekuasaan, atau hanya menambah daftar panjang drama hukum yang berhenti di level teknis. Publik menanti dengan penuh harap dan sekaligus penuh curiga.

‘’Semuanya bergantung pada keberanian. Keberanian jaksa untuk menggali, keberanian hakim untuk menegaskan, dan keberanian saksi untuk berkata jujur. Tanpa itu, cahaya yang diharapkan hanya akan berubah menjadi bayang-bayang,’’ demikian Farid Wajdi, founder Ethics of Care ini mengingatkan.(id96)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE