Scroll Untuk Membaca

Medan

Pembelajaran Dari Eksaminasi Putusan Komisi Etik Terhadap AKBP Brotoseno

Kecil Besar
14px

MEDAN (Waspada): Dosen Pascasarjana dan Ketua Prodi Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Dr Alpi Sahari SH. M.Hum (foto) mengatakan eksaminasi putusan Komisi Etik terhadap AKBP Brotoseno menjadi pembelajaran hukum yang penting dalam praktik hukum yang terjadi di Indonesia.

Dijelaskannya, Peraturan Polri Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia telah ditandatangani Kapolri Jenderal Polisi Drs. Listiyo Sigit Prabowo, MSI pada tanggal 14 Juni 2022 sebelum HUT Bhayangkara. Salah satu yang diatur dalam Bab VI KKEP Peninjauan Kembali Pasal 83 ayat 1 dan ayat 2 yang pada intinya merumuskan norma baru yakni “Kapolri berwenang melakukan peninjauan yang dapat dilakukan apabila terdapat sesuatu kekeliruan dan/atau ditemukan alat bukti yang baru”.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Pembelajaran Dari Eksaminasi Putusan Komisi Etik Terhadap AKBP Brotoseno

IKLAN

Di dalam hukum acara pidana terkait peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang dapat dilakukan oleh terpidana dengan berbagai alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP dan atau Jaksa selaku penuntut umum.

“Di dalam Hukum Acara Pidana menurut hemat saya majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara termasuk Mahkamah Agung tidak memiliki hak untuk melakukan peninjauan kembali, namun dapat melakukan eksaminasi terhadap putusan, sehingga terminologi ‘peninjauan kembali dalam peraturan Polri dimaksud dapat berimplikasi kekacauan auran hukum dalam tata tertib dan keteraturannya bukankan Polri di dalam menciptakan Harkamtibmas berpegang teguh pada ketertiban dan keteraturan,” papar Dr Alpi.

Dikatakann, hukum acara pidana dalam merumuskan terminologi “peninjauan kembali” sebagai upaya hukum luar biasa berpegang teguh pada prinsip due process of law sebagai lawan dari arbitary process. Yaitu suatu proses yang berdasarkan kuasa aparat penegak hukum semata-mata.

“Terkait sidang komisi etik terhadap AKBP Brotoseno yang terduga pelanggar dan diputus bersalah dengan sanksi meminta maaf dan demosi adalah personil Polri, penuntut adalah personil Polri, pembela adalah personil Polri dan Majelis Komisi Etik yang menyidangkan adalah personil Polri sehingga penggunaan terminologi ‘Peninjauan Kembali’ kurang tepat termasuk legal standing Kapolri untuk melakukan peninjauan kembali karena Kapolri bukan pihak yang terlibat dalam sidang komisi etik dimaksud,” tegasnya.

Dalam hal Kapolri menilai keputusan Komisi Etik tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, sambung Dr Alpi, seharusnya Kapolri melakukan eksaminasi terhadap Putusan Komisi Etik apalagi sidang etik berada dalam lingkup internal Kepolisian bukan lingkup peradilan umum.

Dia menguraikan, eksaminasi terfokus pada substansi pertimbangan komisi etik yang memutus terduga pelanggar termasuk putusan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Belajar dari eksaminasi atau sering disebut dengan legal annotation dengan kriteria penilaian terhadap putusan yakni: pertama, apakah pertimbangan hukum telah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum.

Kedua, apakah prosedur hukum acaranya telah diterapkan dengan benar. Kedua, apakah putusan tersebut telah menyentuh rasa keadilan masyarakat. Putusan Komisi Etik terhadap AKBP Brotoseno yang tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat sehingga menurut Kapolri Jenderal Polisi Drs Listiyo Sigit Prawobo, M.Si setelah berdiskusi dengan berbagai pihak memerlukan revisi dengan penambahan klausula peninjauan kembali menurut pendapat saya mengandung kekeliruan di dalam tertib hukum karena persoalan substantifnya. Bahwa komisi etik yang memutus AKBP Brotoseno salah di dalam pertimbangan hukum karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum bukan rasa keadilan masyarakat sebagai standar Kapolri dalam merevisi dengan menambahkan klausula peninjauan kembali.

“Dapat saya contohkan pertimbangan komisi etik dalam memutus AKBP Brotoseno berdasarkan pertimbangan prestasi dan perilaku yang bersangkutan selama menjadi personel Kepolisan. Pertimbangan ini tentunya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum sehingga perlu di eksaminasi pertimbangannya dengan memutus PDTH AKBP Brotoseno,” sebutnya.

Ketidaksesuaian pertimbangan komisi etik yang memutus AKBP Brotoseno dengan sanksi berupa permintaan maaf dan demosi karena tidak sesuai dengan prinsip hukum “Notoire Feiten Notorius”. Artinya telah diketahui umum dan tidak perlu dibuktikan bahwa AKBP Brotoseno melakukan perbuatan pidana di dalam menjalankan tugas dengan menyalahgunakan kewenangan.

Menurut Dr Alpi, dalam prinsip hukum pidana dikenal dengan pemberatan sanksi bagi pejabat yang melakukan tindak pidana termasuk rumusan delik penyalahgunaan kewenangan di dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Di dalam tindak pidana umum saja terhadap kasus penggelapan membedakan kualifikasi delik ancaman pidanaantara Pasal 372 dengan Pasal 374 yakni “karena hubungan kerja atau pencarian atau karena mendapat upah untuk itu”, di samping delik-delik yang dirumuskan secara materiil (de delicten met materiele omschrijving) dan delik-delik yang dikualifikasi oleh akibatnya (de door het gevolg gequalificeerde delicten).

“Untuk itu mari kita sama-sama belajar terkait kualifikasi rasa keadilan masyarakat,” ujar Dr Alpi.(m05)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE