MEDAN (Waspada): Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Medan menilai wacana pemberlakuan Surat Tanda Registrasi (STR) seumur hidup untuk para dokter dan tenaga kesehatan justru akan menyulitkan pengawasan.
Karenanya, Ketua IDI Cabang Medan dr Ery Suhaimi SpB mengatakan, masa berlaku STR lima tahun sekali sesuai Undang-Undang praktek kedokteran yang telah berlaku selama ini sudah cukup melindungi masyarakat dan tenaga kesehatan.
“Kenapa STR itu lima tahun sekali, karena memang harus ada evaluasi. Kalau seumur hidup di satu sisi memang memudahkan, tapi evaluasi dan pengawasannya akan sulit,” ungkapnya, kemarin.
Oleh karena itu, Ery menjelaskan, Undang-Undang praktek kedokteran yang ada sebetulnya sudah ideal, karena peruntukannya bukan hanya untuk melindungi dokter tetapi juga masyarakat.
“Karena dokter itu lima tahun sekali harus mengupdate ilmunya, mengumpulkan SKP baru keluar STR nya. Tapi kalau seumur hidup memang memudahkan tentu tp evaluasi memperolehnya itu,” jelasnya.
PB IDI sendiri, sambung Ery juga juga sudah tegas menolak Omnibus Law RUU Kesehatan yang mengatur tentang praktek kedokteran. Begitu juga dengan sejumlah organisasi profesi kesehatan lainnya.
“Jadi kalau di IDI kita ingin menghapus pasal itu (STR seumur hidup). Ya kalau bisa tetap per lima tahun,” pungkasnya.
Seperti diketahui, pemerintah memang telah mengusulkan agar dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan, STR untuk dokter dan tenaga kesehatan dapat berlaku seumur hidup.
Walau demikian, kualitas mereka akan tetap terjaga melalui sistem pemenuhan kompetensi berkala yang wajib dilalui ketika memperpanjang Surat Izin Praktek (SIP).
Dirjen Tenaga Kesehatan Kemenkes RI drg Arianti Anaya MKM mengatakan, STR seumur hidup bukan berarti menghilangkan pemenuhan kompetensi secara berkala. Syarat kompetensi akan melekat dalam SIP melalui pemenuhan Satuan Kredit Poin (SKP) seperti yang berlaku saat ini sehingga kualitas dokter dan nakes akan tetap terjaga.
”Jadi tidak benar isu yang beredar jika STR seumur hidup akan menyuburkan praktek dokter dukun atau dokter tremor atau dokter abal-abal karena mereka tetap diwajibkan mendapatkan sertifikat kompetensi melalui pemenuhan SKP seperti praktek yang terjadi saat ini. Jadi kualitas mereka tetap terjaga. Bedanya sertifikat kompetensi nantinya akan melekat dalam perpanjangan SIP yang berlaku setiap 5 tahun,” ungkapnya dalam keterangannya.
Dia menjelaskan, saat ini dokter dan tenaga kesehatan wajib mengurus perpanjangan STR dan SIP setiap lima tahun sekali melalui banyak tahapan birokrasi, validasi, dan rekomendasi sehingga banyak dokter dan tenaga kesehatan merasa terbebani termasuk dengan biaya-biaya yang timbul.
Untuk itu pemerintah melalui RUU Kesehatan menyederhanakan proses tersebut menjadi lebih mudah.
”Jadi nanti yang diperpanjang cukup SIP saja. Tujuan dari penyederhanaan perizinan ini adalah agar dokter dan tenaga kesehatan tidak banyak dibebani sehingga mereka bisa tenang menjalankan tugas mulia mereka,” kata Ariani. (Cbud)