Scroll Untuk Membaca

Medan

Pemprovsu Menyandera Fiskal Kabupaten Kota, Mesin Pelayanan Publik Dipaksa Hidup Tanpa Bahan Bakar

Pemprovsu Menyandera Fiskal Kabupaten Kota, Mesin Pelayanan Publik Dipaksa Hidup Tanpa Bahan Bakar
Ilustrasi AI. Pemprovsu menyandera fiskal kabupaten dan kota, mesin pelayanan publik dipaksa hidup tanpa bahan bakar.
Kecil Besar
14px

MEDAN (Waspada.id): Pernyataan keprihatinan Ketua DPRD Kota Medan, Wong Chun Sen terhadap belum tuntasnya penyaluran Dana Bagi Hasil (DBH) pajak dari Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) ke kas Pemko Medan patut dicatat, tetapi harusnya tidak cukup berhenti sebagai seruan moral.

Keterlambatan penyaluran DBH bukanlah sekadar persoalan administratif keuangan daerah, melainkan cermin nyata lemahnya disiplin fiskal dan rapuhnya keadilan keuangan antar level pemerintahan di Sumatera Utara.

‘’Bahkan lebih jauh kalau menggunakan bahasa Medannya, Pemprovsu ini menokohi saja kerjanya,’’ sebut Elfenda Ananda, pengamat anggaran dan kebijakan publik kepada Waspada.id, Jumat (10/10/2025) pagi.

Dengan sisa kurang salur mencapai Rp279,81 miliar untuk Kota Medan hingga akhir September 2025, Pemprovsu jelas gagal menjaga prinsip “money follows function” bahwa setiap kewenangan dan tanggung jawab daerah harus diikuti oleh dukungan fiskal yang tepat waktu dan memadai.

‘’Jika pembayaran DBH dilakukan tepat waktu, maka banyak program dan kegiatan yang dapat dilaksanakan tanpa ditunda,’’ jelasnya.

Elfenda menyebut, kegagalan mendistribusikan DBH ini bukan hanya mengganggu arus kas (cash flow) APBD Medan, tetapi juga berpotensi melumpuhkan roda pembangunan, menunda pembayaran proyek, serta menekan kemampuan Pemko dalam menjaga pelayanan publik dasar.

Prinsip money follows function bukan sekadar istilah teknis di dunia fiskal. Ia adalah janji keadilan antara pemerintah dan rakyatnya: bila daerah diminta membangun jalan, memperbaiki sekolah, atau memperluas layanan kesehatan, maka uang untuk itu harus mengalir tanpa penundaan dan tanpa alasan politik.

‘’Namun, realitasnya berbicara lain, fungsi pemerintahan tetap berjalan, tapi uangnya tertahan. Mesin pelayanan publik dipaksa hidup tanpa bahan bakar,’’ ungkap Elfenda.

Inilah yang kini dialami Kota Medan dan kabupaten kota lainnya di Sumut. Hak keuangan yang sudah ditetapkan melalui SK Gubernur justru tersandera di kas provinsi Sumut. Ini juga bukan semata kelalaian administrasi, melainkan pelanggaran terhadap logika keadilan fiskal.

Dana publik seharusnya mengikuti fungsi publik, bukan menjadi korban tarik-ulur birokrasi dan kepentingan politik. ‘’Tanpa kepastian dana, rencana pembangunan hanya menjadi retorika. Dan tanpa disiplin fiskal, desentralisasi kehilangan maknanya,’’ ungkapnya.

Elfenda berharap DPRD Medan tidak boleh berhenti pada kata “mendesak”. Mereka harus menuntut audit terbuka terhadap mekanisme penyaluran DBH oleh BKAD Provinsi.

Publik berhak tahu apakah keterlambatan ini disebabkan oleh krisis likuiditas, kekeliruan perhitungan realisasi pajak, atau justru ada praktik maladministrasi dan ketimpangan prioritas antar daerah, kata Elfenda.

Padahal posisi Pemprovsu sebagai pembina kabupaten/ kota yang seharusnya tidak boleh mengambil keuntungan atas hak keuangan daerah kabupaten kota.

‘’Ironisnya, Kota Medan penyumbang pajak terbesar bagi Sumut justru menjadi pihak yang harus menunggu haknya sendiri. Fakta ini menunjukkan bahwa transparansi dan akuntabilitas fiskal di tingkat provinsi masih jauh dari ideal. SK Gubernur Sumut sudah menetapkan hak Pemko Medan, tetapi implementasinya tertinggal jauh di belakang komitmen,’’ ungkap Elfenda.

Oleh karena itu, seruan tentang keadilan fiskal harus diwujudkan dalam langkah konkret dan tegas:

  1. Menuntut jadwal pembayaran resmi dan transparan dari Pemprov dengan laporan progres mingguan.
  2. Mendorong publikasi data DBH secara terbuka untuk seluruh kabupaten/kota di situs resmi Pemprov.
  3. Mengusulkan sistem transfer otomatis berbasis digital agar hak daerah tidak lagi bergantung pada keputusan politik.
  4. Meminta BPK RI melakukan audit keuangan Pemprovsu terkait DBH dan menghitung kerugian pemerintah kabupaten kota serta dampak yang diterima ditengah-tengah pemangkasan dana transfer kedaerah.

Tanpa tindakan korektif yang nyata, kata Elfenda, persoalan DBH akan terus berulang setiap tahun menjadi “utang politik fiskal” yang menumpuk dan merusak kepercayaan publik terhadap integritas keuangan Pemprov Sumut. Padahal, secara umum kecuali Kota Medan dan Deli Serdang kondisi fiscal rendah bahkan sangat rendah.

Keadilan fiskal bukan belas kasihan, derma ataupun sumbangan. Ia adalah hak konstitusional Kota Medan dan tanggung jawab moral Pemprovsu untuk menunaikannya.

‘’Jika uang publik terus tersandera di meja birokrasi, maka yang tersandera sesungguhnya bukan hanya dana pembangunan tapi masa depan keadilan fiskal di Sumatera Utara,’’ ungkapnya.

Pemprovsu Janji Membayar

Utang DBH Pemprovsu yang harus dibayar ke kabupaten/kota di Sumut tahun 2023, 2024 dan tahun berjalan 2025 mencapai Rp3,5 triliun. Dari Rp3,5 triliun tersebut, Rp1,8 triliun telah dibayarkan.

‘’Sisanya Rp1,7 triliun itu sudah kita anggarkan di APBD 2025. Sudah ditampung di PAPBD 2025 dan November akhir tahun ini, Insya Allah akan kita bayar,’’ ucap Kepala BKAD Pemprovsu, Timur Tumanggor menjawab Waspada.id, Jumat (10/10/2025) siang.(id96)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE