Medan

Penanganan Bencana Di Sibolga Menempatkan Negara Pada Sorotan Tajam Publik

Penanganan Bencana Di Sibolga Menempatkan Negara Pada Sorotan Tajam Publik
Farid Wajdi. Waspada.id/ist
Kecil Besar
14px

MEDAN (Waspada.id): Penanganan bencana di Sibolga Menempatkan negara pada sorotan tajam publik. Demikian disampaikan Farid Wajdi selaku Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, Selasa (2/12/2025).

Disebutkan penangkapan 16 warga yang menjarah minimarket pasca banjir memantik pertanyaan mendasar: apakah penegakan hukum dalam situasi darurat layak dijalankan secara kaku, atau perlu ditopang kebijakan yang peka terhadap kondisi kemanusiaan? Perdebatan ini tidak lagi sekadar soal kriminalitas, melainkan ukuran sejauh mana negara mampu membaca tanda zaman ketika krisis menggulung.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Laporan lapangan menunjukkan penjarahan di Sibolga tidak terlahir dari hasrat kriminal, melainkan dari kelangkaan pangan dan terputusnya distribusi bantuan. Menteri Sosial mengklarifikasi kondisi tersebut sebagai keadaan kemanusiaan ekstrem.

Menteri Dalam Negeri menegaskan warga “lapar karena bantuan sulit masuk”. Mabes Polri juga mengakui penjarahan merupakan dampak langsung terhambatnya suplai logistik. Seluruh gambaran ini menyingkap ruang abu-abu antara hukum dan nurani ketika negara terlambat hadir pada jam-jam genting.

Penilaian terhadap tindakan kepolisian tidak dapat dilakukan secara mekanis. Aparat memang memiliki mandat menjaga ketertiban, termasuk saat bencana melumpuhkan kota. Namun hukum pidana tidak bekerja dalam ruang steril; ia bersentuhan dengan realitas sosial yang rapuh.

Prinsip restorative justice yang diserukan berbagai pihak menghadirkan perspektif yang lebih proporsional. Keadilan semestinya menimbang kemiskinan ekstrem, akses pangan yang terputus, serta ketidakpastian hidup para penyintas. Norma hukum tetap berdiri, tetapi semestinya selaras dengan nalar publik yang mengedepankan pemulihan sosial sebagai inti respons krisis.

Kecurigaan publik terkait kemungkinan pengalihan isu juga merebak. Banyak laporan investigatif mencatat kerusakan lingkungan, mulai dari pembabatan hutan hingga pelanggaran tata ruang sebagai akar bencana hidrometeorologis.

Pertanyaan pun muncul: seberapa adil ketika negara lebih cepat menindak warga yang kelaparan, sementara faktor struktural yang mengundang bencana tidak ditangani secara terang? Transparansi mutlak diperlukan untuk menelusuri penyebab ekologis banjir dan longsor yang berulang dari tahun ke tahun.

Sejarah menyediakan contoh terang yang masih relevan. Pada 26 Desember 2004, Wakil Presiden Jusuf Kalla terbang ke Aceh pada hari yang sama tsunami menghantam.
Intruksi membuka paksa gudang Bulog dan gudang obat, serta sweeping toko-toko untuk mengumpulkan minyak goreng dan kompor, melahirkan lompatan dramatis: dari 80 korban yang makan di pagi hari menjadi 10.000 jiwa pada malam hari.

Penjarahan berhenti seketika, bukan karena represivitas aparat, melainkan kehadiran negara yang cepat, tegas, dan tanpa ragu. Pelajaran itu masih berdiri: 72 jam pertama selalu menjadi hukum tertinggi dalam manajemen bencana.
Sibolga memperlihatkan absennya pola kerja semacam itu.

Ketika logistik tersendat dan pejabat terjebak prosedur, ruang keputusasaan melebar. Pelajaran dari Aceh semestinya telah menjadi protokol baku: menonaktifkan birokrasi, membuka gudang logistik, menghadirkan pimpinan tertinggi di lokasi terdampak, serta memberikan perlindungan hukum bagi pelaksana yang bergerak cepat.

Tanpa itu, penindakan hukum terhadap warga yang berusaha bertahan hidup hanya memperdalam luka sosial yang belum tentu pulih.
Negara bukan sekadar penegak aturan; ia penyangga hidup warganya ketika bencana mengguncang.

Kesiapsiagaan harus berwujud tindakan konkret pada jam-jam pertama krisis. Bila pemerintah ingin memulihkan kepercayaan publik, prioritasnya bukan pemidanaan warga yang lapar, tetapi perbaikan tata kelola lingkungan, penguatan sistem logistik darurat, serta keberanian politik untuk bertindak cepat tanpa menunggu kerangka administratif menyusul kemudian.

Dalam bencana, ukuran kepemimpinan selalu terlihat dari satu hal: siapa yang didahulukan penyelamatannya: prosedur atau manusia itu sendiri.Demikian Farid Wajdi.(id18)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE