Medan

Penrad Siagian Minta Tanah Rakyat Dikembalikan Dari PT Socfindo

Penrad Siagian Minta Tanah Rakyat Dikembalikan Dari PT Socfindo
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Sumatera Utara, Pdt. Penrad Siagian. Waspada.id/ist
Kecil Besar
14px

MEDAN (Waspada.id): Di bawah terik matahari Desa Simpang Gambus, Kecamatan Lima Puluh, Kabupaten Batubara, ingatan tentang rumah yang dibongkar paksa dan sawah yang dirampas masih hidup dalam ingatan para petani. Puluhan tahun telah berlalu, namun luka itu tak pernah benar-benar sembuh. Kini, ketika masa Hak Guna Usaha (HGU) PT Socfindo akan berakhir pada 31 Desember 2025, harapan lama itu kembali menyala.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Sumatera Utara, Pdt. Penrad Siagian, datang menemui langsung Kelompok Tani Tanah Perjuangan di desa tersebut, Kamis (18/12/2025). Di hadapan para petani—sebagian besar telah menua dalam penantian keadilan—Penrad menyampaikan desakan tegas agar tanah masyarakat segera dikembalikan kepada pemiliknya yang sah.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

“Tanah ini bukan sekadar hamparan kebun. Di sini ada sejarah, ada kehidupan, ada air mata dan keringat rakyat. Ketika HGU berakhir, negara tidak boleh lagi membiarkan ketidakadilan ini berlanjut,” ujar Penrad dengan suara bergetar dalam keterangannya yang diterima Waspada.id, di Medan, Sabtu (20/12).

Konflik agraria di Simpang Gambus bukan persoalan baru. Pada era 1970-an, sebanyak 461 Kepala Keluarga (KK) mengaku digusur secara paksa dari lahan yang telah mereka tempati dan kelola secara turun-temurun. Rumah-rumah dibongkar, ladang diratakan, dan warga dipaksa pergi dari tanah seluas sekitar 483 hektare.

Yang lebih menyakitkan, menurut pengakuan warga, pengusiran itu dibarengi dengan teror isu PKI—sebuah momok menakutkan pada masa itu. Warga yang bertahan disebut sebagai simpatisan PKI, sebuah stigma yang cukup untuk membuat siapa pun bungkam demi menyelamatkan nyawa.

“Orang tua kami pergi bukan karena mau, tapi karena takut,” kata seorang petani lanjut usia, matanya berkaca-kaca mengenang masa kecilnya yang direnggut bersama tanah keluarganya.

Hidup Dalam Penantian Panjang

Data yang terungkap kemudian menunjukkan bahwa HGU PT Socfindo di Kecamatan Lima Puluh justru bertambah, dari semula 1.418,65 hektare menjadi 1.614,5 hektare. Bahkan ditemukan dugaan kelebihan penguasaan lahan mencapai sekitar 683 hektare, sebagian besar berada di atas tanah yang diklaim sebagai milik masyarakat Simpang Gambus.

Ironisnya, tanah yang dirampas itu telah menjadi lahan pertanian rakyat sejak tahun 1942—jauh sebelum perusahaan hadir.

Pada masa reformasi 1998, setelah 43 tahun hidup dalam penderitaan, para petani kembali bangkit. Dengan sisa tenaga dan harapan yang nyaris habis, mereka menuntut satu hal sederhana: tanah mereka dikembalikan.

Negara Jangan Menutup Mata

Penrad Siagian menegaskan bahwa dirinya telah mendampingi masyarakat Simpang Gambus bahkan jauh sebelum menjadi anggota DPD RI. Baginya, perjuangan ini bukan sekadar soal legalitas, melainkan soal kemanusiaan dan keadilan sosial.

Ia mendesak Kementerian ATR/BPN agar tidak memperpanjang HGU PT Socfindo tanpa menyelesaikan seluruh klaim dan hak masyarakat secara adil dan transparan.

“Negara tidak boleh berdiri di atas penderitaan rakyatnya sendiri. Keberpihakan kepada petani harus nyata, bukan hanya janji di atas kertas,” tegas Penrad.

Bagi warga Simpang Gambus, berakhirnya HGU pada 31 Desember 2025 bukan sekadar tenggat administrasi. Itu adalah harapan terakhir, agar tanah yang dirampas puluhan tahun lalu dapat kembali menjadi sumber hidup, bukan lagi sumber air mata. (id06)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE