Scroll Untuk Membaca

Medan

Peradilan Modern: Bebas Dari Seremonial

Peradilan Modern: Bebas Dari Seremonial
Kecil Besar
14px

MEDAN (Waspada.id): Farid Wajdi selaku Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, pada Rabu (17/9) menyampaikan terkait Ketua Mahkamah Agung (MA) Prof. Sunarto memberikan pembinaan kepada Ketua, Wakil Ketua, Hakim, dan seluruh Aparatur Pengadilan pada 4 (empat) lingkungan peradilan.

Kata Farid, ada saat ketika langkah seorang pejabat tinggi pengadilan selalu disambut meriah. Musik tradisi ditabuh, bunga disematkan, souvenir disiapkan. Semua demi memberi kesan hormat dan semarak. Namun, kini Ketua Mahkamah Agung Prof. Sunarto menegaskan: cukup sudah. Tidak perlu lagi tarian penyambutan, pengalungan bunga, atau pemberian cendera mata setiap kali pimpinan berkunjung ke satuan kerja.

Sekilas, pernyataan itu mungkin terdengar sederhana, bahkan remeh. Apa salahnya bunga? Apa ruginya tarian? Bukankah itu bagian dari adat ketimuran, tanda hormat kepada tamu agung? Tetapi jika direnungkan lebih jauh, kebijakan ini menyimpan pesan moral yang jauh lebih dalam.

Pertama, ia menyentuh soal efisiensi dan penghematan. Setiap penyambutan besar memerlukan biaya, energi, dan waktu. Dana yang seharusnya bisa digunakan untuk pelayanan publik justru terbuang pada seremonial. Dengan meniadakan ritual ini, Mahkamah Agung ingin menunjukkan keberpihakan pada substansi, bukan simbol.

Kedua, ia terkait dengan integritas lembaga. Tradisi penyambutan megah bukan hanya urusan estetika. Di balik senyum dan tarian, sering terselip harapan: balasan, kedekatan, atau perlakuan istimewa. Dalam dunia hukum, hal sekecil itu bisa mengaburkan batas antara penghormatan dan gratifikasi. Ketua MA benar ketika mengingatkan: intervensi pada kemandirian peradilan sering lahir dari dalam diri sendiri—dari kebiasaan kecil yang kemudian membuka ruang bagi hal-hal besar yang merusak.

Ketiga, ia menyentuh mindset pelayanan. Pimpinan pengadilan sejatinya bukan “raja” yang harus disanjung, melainkan pelayan publik yang mengemban amanah. Jika aparat sibuk menyiapkan tarian dan bunga, alih-alih berfokus pada tugas pokok melayani pencari keadilan, bukankah itu sebuah ironi?

Kebijakan ini tentu tidak lahir tanpa konsekuensi. Akan ada resistensi. Di banyak daerah, penyambutan meriah sudah menjadi tradisi, bahkan dianggap kewajiban etis. Menghapusnya bisa menimbulkan kesan kurangnya penghormatan. Namun, inilah harga dari perubahan: melawan kebiasaan yang sudah dianggap lumrah.

Konsekuensi positif justru lebih besar. Anggaran bisa dialihkan untuk kebutuhan nyata—teknologi peradilan, pelatihan hakim, perbaikan fasilitas sidang. Hubungan pimpinan dan bawahan pun menjadi lebih profesional. Dan yang terpenting: publik bisa melihat bahwa lembaga peradilan sedang serius membersihkan diri dari formalitas yang sia-sia.

Dalam kacamata publik, langkah ini bisa menjadi sinyal reformasi kecil yang berarti besar. Reformasi yang tidak dimulai dari regulasi berat atau pidato panjang, melainkan dari hal sederhana: berani menanggalkan simbol demi substansi.

Di balik keputusan ini, tersimpan pertanyaan reflektif: selama ini, untuk siapa sebenarnya seremonial penyambutan itu? Untuk menegakkan wibawa pimpinan, atau untuk memelihara kebanggaan institusi? Dan lebih jauh lagi, apakah wibawa pengadilan benar-benar lahir dari bunga dan tarian, atau justru dari putusan yang adil, pelayanan yang cepat, dan integritas yang tak tergoyahkan?
Kini, bunga tak lagi mekar di gerbang pengadilan.

Tetapi mungkin, di balik itu, ada bunga lain yang justru tumbuh: bunga kejujuran, bunga integritas, bunga keberanian untuk berkata “cukup” pada tradisi yang tak lagi relevan. Bukankah keadilan memang seharusnya tampil tanpa hiasan? Tegak berdiri, sederhana, namun penuh makna.(id23)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE