MEDAN (Waspada.id): Pengamat kebijakan publik dan dosen Fisip UMSU, Shohibul Anshor Siregar, menyampaikan kritik keras terhadap respon pemerintah pusat dalam menangani banjir besar yang melanda Sumatera seperti di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat.
Siregar menilai kunjungan Presiden ke lokasi banjir tidak menyelesaikan apa pun. Yang dibutuhkan adalah moratorium industri ekstraktif, audit nasional, dan keberanian memutus dominasi oligarki. Jika Prabowo hanya melanjutkan pola 2014–2024, rakyat tidak akan melihat perubahan apa pun.
Siregar menyebut negara masih terjebak dalam pola lama: kepemimpinan citra, populisme, dan ketakutan menghadapi akar persoalan lingkungan.
“Lebih baik saya mendengar Presiden memerintahkan penghentian sementara semua industri ekstraktif perusak lingkungan, daripada melihat ia berdiri di depan kamera di tengah banjir,” kata Siregar kepada wartawan di Medan, Selasa (2/12/2025).
Siregar menegaskan bahwa bencana ekologis yang berulang hari ini adalah harga yang harus dibayar bangsa setelah 10 tahun dipimpin dengan model kepemimpinan citra dan political marketing populis.
“Kita harus berhenti total dari model kepemimpinan citra ala 2014–2024. Itu bukan kepemimpinan, itu manajemen popularitas,” tandasnya.
Siregar menilai pola tersebut menghasilkan absennya penyelesaian konflik agraria, meningkatnya deforestasi, industrialisasi ekstraktif tak terkendali, dan pembiaran ketimpangan ruang yang akut.
Menurut Siregar, tanda-tanda awal pemerintahan Prabowo justru memperlihatkan kegamangan kepemimpinan ketika berhadapan dengan persoalan strategis.
Ia menyebut beberapa contoh paling mencolok yakni pemiskinan nasional akibat judi online. “Jutaan rakyat jatuh miskin. Negara tidak berani memutus alurnya,’’ cetusnya.
Lalu sengketa lahan dan kemaharajaan oligarki dari konflik agraria hingga kasus “pagar laut” Tangerang. “Negara tampak kalah di tanahnya sendiri,’’ ungkapnya.
Kemudian kegagalan proyek Whoosh. “Tidak ada evaluasi, hanya propaganda,’’ cetusnya.
Yang terbaru adalah drama lapangan terbang Morowali. Show of force yang menurut Siregar berakhir tanpa keputusan struktural. “Rakyat bingung: di mana tanda perubahan itu?”
Kembali ke banjir Sumatera. Kata Siregar, korban terus bertambah, negara malah takut mengakui bencana nasional.
Data sampai Selasa pagi dari BNPB menunjukkan: jumlah korban meninggal: 631 jiwa, jumlah korban hilang: 472 jiwa, terluka: 2.600 jiwa, korban terdampak: 3,2 juta jiwa, jumlah korban mengungsi: 1 juta jiwa dan kerugian ratusan miliar rupiah.
Deforestasi Sumatera capai 62 ribu hektare setahun terakhir, 46% Daerah Aliran Sungai (DAS) kritis akibat sawit dan tambang.
Menurut Siregar, keengganan menetapkan banjir Sumatera sebagai bencana nasional menunjukkan minimnya keberanian politik.
“Negara justru takut menuntaskan masalah. Kalau penyebabnya tidak diselesaikan, bencana berikutnya hanya soal waktu,’’ tandasnya.
Untuk itu Siregar mengusulkan langkah konkret:
- Moratorium 1 tahun seluruh industri ekstraktif di Indonesia, terutama di wilayah terdampak Sumatera.
- Audit nasional total: BPK, KLHK, akademisi, publik.
- Cabut izin permanen bagi perusahaan yang terbukti bersalah.
- Tindak pidana dan perdata, tanpa kecuali melalui peradilan imparsial dan terbuka.
“Ini satu-satunya cara menunjukkan negara benar-benar berubah memihak rakyat sesuai titah pembukaan UUD 1945,’’ cetusnya.
Sebagai pesan strategis, Siregar menyampaikan untuk Prabowo Subianto agar jangan ragu. Jika Prabowo berani memutus kelanjutan era 2014–2024 dan menunjukkan kepemimpinan substantif, bukan kepemimpinan citra oriented, Prabowo pasti terpilih lagi pada Pilpres 2029.
“Tapi jika ia tetap gamang, tetap populis, dan tetap takut menghadapi oligarki, rakyat akan melihat bahwa tidak ada perubahan apa pun,’’ tutupnya.(id96)












