MEDAN (Waspada.id): Rektor Universitas Sumatera Utara (USU), Prof. Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si, menegaskan pentingnya pengembangan layanan Integrated Child Care (childcare terintegrasi) untuk mendorong peningkatan partisipasi angkatan kerja perempuan, khususnya yang terdidik.
Hal ini disampaikan Muryanto dalam Simposium Nasional Kependudukan 2025 bertema “Membangun Penduduk Berkualitas, Keluarga Tangguh, dan Ekonomi Inklusif untuk Indonesia Maju” di Auditorium Universitas Negeri Padang, Kamis (11/9/2025). Kegiatan ini diinisiasi Konsorsium Perguruan Tinggi Peduli Kependudukan (PTPK) yang terdiri dari 14 perguruan tinggi negeri, di mana Muryanto juga menjabat sebagai sekretaris.
Menurut Muryanto, data menunjukkan adanya kesenjangan besar partisipasi kerja antara laki-laki dan perempuan di Indonesia. “Selama 20 tahun terakhir, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan stagnan di kisaran 50–56 persen, jauh di bawah laki-laki yang konsisten di atas 80 persen,” jelasnya.
Padahal, jumlah perempuan berpendidikan semakin meningkat. Data BPS Maret 2023 mencatat, proporsi perempuan usia 7–23 tahun yang masih bersekolah lebih tinggi (75,08 persen) dibanding laki-laki (72,89 persen). “Artinya ada potensi besar yang belum termanfaatkan optimal karena keterbatasan dukungan pengasuhan,” kata Muryanto.
Muryanto kemudian mengurai sejumlah faktor yang membuat partisipasi kerja perempuan rendah. Di antaranya adalah marriage & motherhood penalty atau penurunan partisipasi kerja setelah menikah dan melahirkan, beban ganda pengasuhan yang lebih besar ditanggung ibu, keterbatasan akses layanan PAUD formal, serta norma sosial tradisional yang menempatkan pengasuhan anak sepenuhnya pada perempuan.
“Ibu rata-rata menghabiskan 13,7 jam per hari untuk pekerjaan domestik dan pengasuhan, sementara ayah hanya 3–4 jam. Waktu ibu untuk pekerjaan berbayar hanya 2,5 jam per hari, atau 3,5 kali lebih sedikit dibanding laki-laki,” ungkapnya.
Untuk menjawab tantangan itu, Muryanto menekankan pentingnya Integrated Child Care. Dengan akses layanan pengasuhan penuh waktu, ibu lebih berpeluang bekerja di sektor formal bernilai tinggi, sementara anak-anak mendapatkan stimulasi optimal bagi tumbuh kembangnya. “Integrated Child Care adalah jembatan yang memastikan perempuan terdidik dapat berkontribusi penuh, anak-anak tumbuh sehat dan cerdas, serta bangsa melangkah pasti menuju Generasi Emas 2045,” tegasnya.
Muryanto menambahkan, konsep ini sejalan dengan PAUD Holistik Terintegrasi (PAUD-HI) yang telah diatur dalam Perpres No. 60 Tahun 2013, mencakup layanan pendidikan, kesehatan dan gizi, pengasuhan dan perlindungan, serta kesejahteraan. Namun, implementasi masih menghadapi tantangan, mulai dari ketersediaan layanan yang belum merata, kualitas tenaga pendidik yang beragam, koordinasi lintas sektor yang tumpang tindih, hingga minimnya anggaran.
Ia pun mengajukan sejumlah rekomendasi yang dianggap krusial. Perluasan akses childcare terintegrasi harus dilakukan hingga tingkat desa atau kelurahan, dengan layanan penuh waktu yang sesuai kebutuhan ibu bekerja. Anggaran publik untuk child care juga perlu ditingkatkan agar setara dengan standar internasional. Selain itu, perusahaan perlu diberi insentif pajak untuk menyediakan fasilitas pengasuhan.
“Di sisi lain, kebijakan ketenagakerjaan harus lebih inklusif gender dengan memperkuat cuti melahirkan dan cuti ayah, sekaligus memastikan ibu dapat kembali bekerja setelah melahirkan,” bebernya.
Perubahan norma sosial juga tidak kalah penting. Muryanto menekankan perlunya kampanye nasional tentang pengasuhan bersama, edukasi tentang peran penting ayah, serta integrasi pendidikan kesetaraan gender dalam kurikulum dan program parenting. Pendekatan lintas sektor pun mutlak diperlukan, dengan kolaborasi berbagai kementerian, lembaga, pemerintah daerah, hingga perguruan tinggi.
“Perguruan tinggi punya peran strategis, mulai dari riset berbasis bukti, pencetak tenaga profesional, pengabdian masyarakat melalui pendirian child care center di kampus, hingga advokasi regulasi dan kebijakan,” pungkasnya.
Simposium Nasional Kependudukan 2025 ini menghasilkan sejumlah rekomendasi penting bagi pembangunan kependudukan. Forum ini menyoroti dinamika bonus demografi, isu perkawinan anak, perceraian, peningkatan partisipasi kerja perempuan, hingga perlunya kebijakan asimetris dalam pengendalian jumlah penduduk.
Seluruh rangkaian simposium menegaskan kembali bahwa penduduk berkualitas, keluarga tangguh, dan ekonomi inklusif adalah fondasi utama menuju Indonesia Maju 2045.(id14)