MEDAN (Waspada) – Program makan bergizi gratis senilai Rp10 ribu yang diluncurkan pemerintah menuai berbagai tanggapan. Beni Satria, pengamat kesehatan Sumatera Utara (Sumut) sekaligus Ketua Umum Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Sumut, menilai bahwa meskipun program ini memiliki tujuan baik, implementasinya perlu dikawal secara ketat agar efektif dan berkelanjutan.
“Program ini idealnya melibatkan ahli gizi agar makanan yang disediakan benar-benar bergizi, bukan sekadar pengisi perut. Anak usia sekolah memerlukan asupan protein, vitamin, dan mineral yang sesuai untuk pertumbuhan mereka. Jika tidak, program ini bisa gagal mencapai tujuan utamanya,” kata Beni pada Sabtu (14/12)
Katanya, walaupun program ini memiliki tujuan baik, yaitu meningkatkan gizi dan mendukung pendidikan siswa, perlu dikawal untuk memastikan efektivitas dan keberlanjutannya.
“Mungkin perlu dipertanyakan beberapa hal terhadap Program Makan Gratis bernilai 10 ribu ini,’ ungkapnya tegas.
Ia mempertanyakan, apakah Rp10.000 realistis untuk makanan bergizi? Dengan inflasi dan kenaikan harga pangan, Rp10.000 mungkin hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan kalori minimal, sulit untuk memenuhi kebutuhan gizi yang lengkap. Misalnya, jika menu terdiri dari nasi, lauk (telur atau tahu/tempe), dan sayuran, komponen seperti buah segar atau susu seringkali diabaikan.ia juga mengkritik bahwa anggaran ini sepertinya terkesan politis dan terlalu rendah untuk menciptakan dampak nyata.
Beni juga menanyakan terkait apakah alokasi anggaran transparan? Di Indonesia, program berbasis anggaran sebutnya sering kali rentan terhadap penyimpangan atau inefisiensi, misalnya harga bahan pokok yang dimark-up oleh pihak pelaksana. Maka Beni meminta perlu Pengawasan terhadap penggunaan dana harus diperkuat untuk menghindari korupsi.
“Apakah ada keterlibatan ahli gizi dalam perancangan menu? Menyusun menu bergizi bukan hanya soal menyediakan makanan murah. Anak usia sekolah membutuhkan asupan protein, vitamin, dan mineral yang sesuai dengan pertumbuhan mereka. Tanpa keterlibatan ahli gizi, ada risiko makanan menjadi sekadar “pengisi perut,” tanpa dampak jangka panjang terhadap kesehatan anak. Jika standar gizi tidak diprioritaskan, program ini bisa gagal mencapai tujuan utamanya,” jelasnya lagi.
Lanjut Beni lagi mempertanyajan apakah higienitas dan kualitas bahan pangan dijaga?
“Penyediaan makanan massal sering kali menghadapi tantangan sanitasi. Risiko keracunan makanan atau penyediaan makanan yang basi dapat mencoreng reputasi program ini. Lalu Bagaimana pengawasan terhadap vendor atau katering lokal yang menangani distribusi makanan?,” tanyanya.
Apakah program ini mendorong ketergantungan? Karena menurut Beni memberikan makanan gratis dapat membantu siswa dari keluarga kurang mampu, tetapi juga berisiko menciptakan ketergantungan bagi mereka yang sebenarnya mampu membeli makan siang sendiri. Lalu Bagaimana memastikan program ini tepat sasaran dan tidak membebani anggaran untuk kelompok yang tidak membutuhkan?
“Apakah ada pengaruh langsung terhadap pendidikan? Sepengetahuan saya Belum ada data spesifik yang menunjukkan bahwa program ini benar-benar meningkatkan prestasi belajar siswa atau menurunkan tingkat putus sekolah di Kota Medan. Tanpa evaluasi berbasis data, sulit untuk membuktikan keberhasilan program ini dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Dan Apakah program ini hanya proyek jangka pendek? Banyak program pemerintah daerah yang berhenti di tengah jalan karena keterbatasan anggaran atau perubahan kebijakan setelah pergantian presiden / kepala daerah. Apa rencana jangka panjang pemerintah untuk memastikan keberlanjutan program ini? Apakah ada strategi untuk meningkatkan anggaran seiring dengan kebutuhan siswa?,” ujar Beni.
Ia bahkan menyoroti tentang apakah melibatkan masyarakat lokal Program ini baik jika bisa menjadi stimulus ekonomi jika melibatkan UKM lokal sebagai penyedia bahan makanan. Namun, jika dikelola oleh segelintir vendor besar, dampak sosial-ekonomi yang lebih luas bisa terabaikan. Maka perlu ada mekanisme yang mendukung keterlibatan petani atau pedagang lokal.
Apakah program ini sekadar alat politik Program makan siang gratis sering kali menjadi proyek populis yang diluncurkan tanpa perencanaan matang untuk menarik perhatian publik. Dalam banyak kasus, dampaknya hanya terasa selama masa kampanye. Maka Bagaimana menjamin bahwa program ini didasarkan pada kebutuhan riil siswa, bukan agenda politik jangka pendek?
“Menurut saya, Program makan siang gratis senilai Rp10.000 ini memiliki tujuan yang baik, tetapi berisiko gagal jika tidak diimplementasikan secara hati-hati. Kelemahan utama terletak pada anggaran yang terlalu rendah, potensi penyimpangan pengelolaan, dan kurangnya fokus pada keberlanjutan serta evaluasi dampak nyata. Tanpa pembenahan pada aspek-aspek tersebut, program ini mungkin hanya akan menjadi proyek simbolis yang tidak memberikan perubahan berarti bagi siswa di Kota Medan,” tandasnya. (Cbud)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.