MEDAN (Waspada): PT Tira Darma Gemilang menggugat Perusahaan Umum Daerah (PUD) Pasar Kota Medan ke Pengadilan Negeri (PN) Medan terkait sengketa izin sewa lahan reklame di kawasan eks Pasar Aksara. Gugatan ini terdaftar dengan nomor perkara 36/Pdt.G.S/2025/PN Medan.
“Kami menggugat PUD Pasar Medan atas perbuatan melawan hukum terkait tumpang tindih izin sewa reklame,” sebut kuasa hukum penggugat, Raja A. Mayakasa Harahap, SH, dari Kantor Hukum Citra Keadilan, Kamis (24/7) di Medan.
Dalam gugatannya, PT Tira menyatakan telah mengantongi izin resmi dari PUD Pasar untuk menyewa lahan seluas 40 meter persegi guna mendirikan lima titik tiang reklame. Masa sewa tersebut berlangsung selama dua tahun, sejak 3 Januari 2024 hingga 2 Januari 2026, berdasarkan nota kesepahaman dan pembayaran kontribusi sewa yang sah.
Namun, tambah Raja Makayasa, pada April 2024, dua dari lima tiang reklame milik PT Tira dilaporkan hilang. Ironisnya, menurut penggugat, PUD Pasar tidak memberikan tanggapan atau bentuk pertanggungjawaban atas insiden tersebut. Bahkan, tiga tiang reklame lainnya turut dicabut atas arahan PUD Pasar dengan alasan relokasi.
“Faktanya, lahan yang masih kami sewa justru disewakan kembali kepada pihak lain, yakni pengelola Aksara Kuphi, tanpa mencabut izin kami terlebih dahulu,” tegas Raja.
Raja menyebut tindakan tersebut sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dan telah merugikan kliennya secara materiil dan moril. Akibat hal ini, PT Tira menuntut majelis hakim menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum serta menghukum PUD Pasar membayar ganti rugi sebesar Rp415.258.000.
Tak hanya itu, penggugat juga meminta agar PUD Pasar menyampaikan permintaan maaf secara terbuka melalui media cetak dan media sosial selama 7 hari berturut-turut.
Bahkan, PT Tira turut menggugat Wali Kota Medan dan pengelola Aksara Kuphi sebagai turut tergugat. Penggugat juga mendesak agar dilakukan audit terhadap potensi kerugian negara dalam pengelolaan izin dan aset di eks Pasar Aksara.
Raja mengungkapkan bahwa pihaknya memperoleh informasi terkait nilai sewa lahan sebesar Rp105 juta per tahun untuk lahan seluas sekitar 4.000 meter persegi. Padahal, berdasarkan kalkulasi proporsional, nilai tersebut seharusnya mencapai Rp1,5 miliar per tahun.
“Klien kami menyewa 40 meter persegi dengan nilai Rp15 juta per tahun. Jika lahan seluas 4.000 meter persegi hanya disewakan Rp105 juta, jelas ini janggal dan berpotensi menyebabkan kerugian negara,” ungkap Raja.
Raja menegaskan, pihaknya meminta dilakukan audit investigatif terhadap potensi penyimpangan dalam pengelolaan sewa lahan milik negara tersebut.(m27)