Scroll Untuk Membaca

Medan

Razia Pelat BL Adalah Tindakan Ilegal

Razia Pelat BL Adalah Tindakan Ilegal
Bobby Nasution saat memberikan penjelasan video viral di sela-sela giat launching UHC Prioritas di Pakam pada Senin sore. Waspada.id/ist
Kecil Besar
14px

MEDAN (Waspada.id): Razia pelat BL oleh Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution baru-baru ini di kawasan kabupaten Langkat, Sumut dinilai bukan sekadar salah kaprah, ini tindakan ilegal.

Hal itu dikatakan Pengamat anggaran dan kebijakan publik Sumatera Utara, Elfenda Ananda, mengatakan STNK dan TNKB bukan urusan daerah, melainkan kewenangan Polri sebagai otoritas registrasi nasional.

“Pelat nomor adalah produk hukum negara yang berlaku sah di seluruh Indonesia. Menyuruh sopir mengganti pelat BL (Aceh) ke BK atau BB (Sumut) tanpa prosedur mutasi resmi sama saja dengan menabrak hukum,” katanya pada Senin (29/9).

Gubsu “Bobby Nasution” katanya tampaknya mengabaikan aturan nasional dan menjadikan hukum seolah bisa ditafsir sesuai kepentingan lokal. Ini berbahaya, karena membuka ruang tafsir sempit bahwa provinsi bisa seenaknya menentukan kendaraan mana yang boleh melintas. Padahal, NKRI berdiri atas kesatuan hukum lalu lintas yang berlaku universal.

Ironinya, dalih yang dipakai adalah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Padahal fakta berbicara lain: target PAD Sumut tahun 2025 sebesar Rp7,24 triliun justru turun Rp832,57 miliar (11%) pada Perubahan APBD 2025, sehingga hanya Rp6,41 triliun. Dari jumlah itu, 87% kontribusinya berasal dari pajak daerah, terutama pajak kendaraan bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB). Namun menggunakan alasan PAD untuk melakukan razia liar jelas tidak bisa dibenarkan.

Belum hilang dari ingatan publik ketika Bobby masih menjabat Wali Kota Medan, ia meluncurkan kebijakan parkir berlangganan. Warga yang bukan orang Medan dipaksa memiliki barcode parkir, jika tidak maka dilarang (diusir) parkir di wilayah kota. Kebijakan itu menuai kontroversi, bermasalah di lapangan, dan hingga akhir jabatannya tidak pernah beres. Pola pikir memaksa publik demi angka PAD kini diulang lagi—bedanya kali ini sasarannya sopir truk Aceh.

Dalam teori ekonomi, jika sebuah daerah sejahtera, otomatis PAD ikut naik karena daya beli dan kesadaran pajak meningkat. Namun Pemprov Sumut justru menurunkan belanja fungsi ekonomi secara signifikan, dari 13,65% (Rp1,81 triliun) menjadi hanya 8,85% (Rp1,10 triliun).

Padahal sektor ekonomi sangat vital untuk pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja, dan pengentasan kemiskinan. Penurunan ini menunjukkan lemahnya komitmen pemerintah daerah mendorong pemulihan ekonomi.

Di satu sisi belanja ekonomi ditekan, di sisi lain pajak digenjot dengan cara-cara instan dan diskriminatif. Ini kontradiksi yang menunjukkan arah kebijakan Sumut salah arah.

Razia pelat BL juga punya nuansa politik simbolik yang kental. Video yang tersebar di TikTok menampilkan Bobby seolah berani menghadang kendaraan luar, tapi substansi kebijakan nihil: tidak ada dasar hukum, tidak ada tindak lanjut administratif, tidak ada mekanisme penegakan resmi.

Publik mudah membaca bahwa ini sekadar pencitraan dengan target kamera. Lebih buruk lagi, aksi ini muncul di tengah sorotan publik terhadap dugaan korupsi yang melibatkan lingkaran Pemprov Sumut. Tidak salah jika publik menilai razia ini hanya tontonan untuk mengalihkan isu besar dengan panggung murahan.

Lebih jauh, razia ini bisa memicu diskriminasi antardaerah. Sumut dan Aceh punya sejarah hubungan yang sensitif. Razia pelat BL dapat ditafsir sebagai upaya “mengusir” identitas Aceh dari jalanan Sumut.

Bagaimana bila Aceh membalas dengan menahan kendaraan BK di wilayahnya? Tindakan simbolik seperti ini bisa menjadi bom sosial yang menggerus kepercayaan antarwarga dan merusak iklim kebangsaan.

Kesimpulannya, razia pelat BL bukan hanya blunder administratif, tapi juga blunder politik dan kebangsaan. Bobby Nasution gagal memahami bahwa seorang gubernur terikat hukum nasional, bukan panggung medsos. Menghadang truk Aceh di perbatasan lebih mirip aksi premanisme politik ketimbang kepemimpinan negara. Yang dikorbankan adalah rasa aman warga, kesatuan hukum nasional, dan citra Sumut sendiri.

Dengan kata lain, apa yang dilakukan Gubsu bukan sekadar “kesalahan memalukan”—melainkan kesalahan serius yang mengancam logika hukum dan keutuhan republik. Entah dasar pikirannya apa, seorang gubernur merasa berhak menegakkan aturan lalu lintas hanya karena perbedaan kode pelat.(id20)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE