MEDAN (Waspada.id): Farid Wajdi selaku Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, memaparkan terkait
150 ribu rekening bank yang diduga menjadi tempat berlabuhnya uang haram, pada Rabu (30/7).
Disebutkan, ada hal mencengangkan muncul dari balik layar sistem keuangan nasional: Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan tak kurang dari 150 ribu rekening bank yang diduga menjadi tempat berlabuhnya uang haram.
Rekening-rekening ini disebut dormant—tak aktif, tak berpindah, tapi diam-diam menampung dana dari berbagai kejahatan: judi online, narkotika, penipuan, hingga korupsi.
Ini bukan kabar biasa. Ini alarm keras. Dari data yang dibuka ke publik, sejak 2020, PPATK telah menganalisis lebih dari satu juta rekening mencurigakan.
Hasilnya, ditemukan fakta mengejutkan: ribuan rekening dibuka bukan untuk kebutuhan finansial pribadi, tapi untuk menjadi “nominee”, boneka digital yang dipakai menampung dan menyembunyikan uang haram. Bahkan tak sedikit dari rekening ini yang dibuka dengan identitas fiktif atau dijual bebas di pasar gelap siber.
Karena itu sejak 15 Mei 2025, PPATK mengambil langkah drastis: pemblokiran sementara terhadap ribuan rekening dormant tersebut. Langkah ini tentu saja bukan tanpa konsekuensi.
Sebagian nasabah yang merasa tidak pernah terlibat aktivitas ilegal pun ikut terkena getahnya. Muncul pertanyaan wajar dari masyarakat: Apakah tindakan ini adil? Apakah negara sedang melangkah terlalu jauh?
Publik tentu perlu jernih memandang.
Dalam konteks melindungi integritas sistem keuangan, tindakan PPATK patut diapresiasi.
Uang hasil kejahatan tak hanya mengancam stabilitas moneter, tetapi juga menyuburkan siklus kriminal yang lebih besar. Bayangkan: sebuah rekening nganggur bisa menjadi jembatan bagi triliunan rupiah dari hasil judi online atau suap proyek pemerintah.
Namun, bukan berarti pemerintah bisa berjalan tanpa kontrol publik. Langkah pencegahan tetap harus berprinsip pada keterbukaan, proporsionalitas, dan perlindungan terhadap nasabah sah.
Nasabah yang tidak pernah menggunakan rekeningnya selama bertahun-tahun tentu tak serta-merta bisa dicurigai. Belum tentu ada niat jahat di sana. Bisa jadi, sekadar rekening gaji lama, tabungan darurat, atau sisa administrasi saat kuliah.
Oleh sebab itu, transparansi menjadi kata kunci. Bank harus menyampaikan pemberitahuan sebelum pemblokiran dilakukan.
Nasabah perlu diberi kesempatan untuk memperbarui data, menjelaskan keadaan, bahkan mengaktifkan kembali rekeningnya jika memang bersih. PPATK, bersama OJK dan perbankan, juga mesti membuka saluran pengaduan yang aktif, informatif, dan manusiawi.
Langkah pencegahan harus cerdas, bukan serampangan. Jangan sampai niat baik negara untuk memberantas kejahatan justru menimbulkan rasa takut atau kehilangan kepercayaan di kalangan nasabah.
Integritas sistem keuangan tidak hanya dibangun dari kekuatan hukum, tetapi juga dari kepercayaan masyarakat yang merasa dilindungi, bukan dituduh tanpa dasar.
Kasus rekening dormant ini adalah ujian penting bagi ekosistem keuangan kita. Di satu sisi, publik sedang membongkar gurita kriminal yang menjadikan rekening sebagai senjata senyap. Di sisi lain, publik juga diingatkan: jangan sampai membasmi hama dengan cara membakar ladang sendiri. (m22)