MEDAN (Waspada): Rektor Universitas Al Washliyah (UNIVA) Medan Prof HM Jamil, MA diundang ke negara Tiongkok. Prof HM Jamil, MA berangkat bersama sejumlah pimpinan perguruan tinggi seperti Rektor UINSU Prof. Nurhayati, perwakilan Universitas Pancabudi, dan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU).
Turut dalam rombongan pimpinan MUI Medan, Wakil Rektor 1 UINSU, Prof. Azhari Akmal Tarigan, Dekan FEBI UINSU Prof. Syukri Albani, perwakilan dari pesantren seperti Ustadz Amiruddin MS, dari TVRI, dari media cetak dan tokoh- tokoh agama lainnya.
Pro HM Jamil, MA kepada Waspada mengatakan, delegasi berangkat Kamis 29 Mei 2025 dari Bandara Kuala Namu menuju Singapore kemudian ke Tiongkok. Rombongan kembali ke tanah air pada 5 Juni 2025. Kota-kota yang akan dikunjungi adalah Zhengzhou, Urumqi dan Beijing serta daerah lainnya.
“Lawatan ke Tiongkok tersebut difasilitasi sepenuhnya Konjen Mr. Zhang Min,” jelas Prof HM Jamil. Kunjungan ini, sambungnya, dalam rangka memperkuat hubungan dan persahabatan Tiongkok dan Indonesia.
“Di samping juga untuk melihat perkembangan masyarakat muslim di Tiongkok, budaya, moderasi beragama, dan penjejakan kerjasama perguruan tinggi,” ungkap Prof HM Jamil, yang juga ketua MUI Binjai.
Prof. Dr. HM. Jamil, MA mengatakan hubungan antara Islam di Indonesia dan Tiongkok memiliki sejarah panjang. Jika ditelusuri melalui berbagai catatan sejarah dan dimensi.
Salah satu dimensi yang penting adalah teori tentang masuknya Islam ke Indonesia. Beberapa teori menyebutkan bahwa Islam datang ke Nusantara melalui anak benua India, khususnya dari Gujarat pada abad ke-13 Masehi.
Sementara itu, teori lain menyatakan bahwa Islam masuk langsung dari Arab, yaitu dari Mesir, Yaman, dan Mekkah. Ada pula pendapat yang menyebutkan asal dari Turki dan Persia, serta teori yang mengatakan bahwa Islam dibawa ke Indonesia melalui Tiongkok.
Katanya, teori terakhir ini cukup masuk akal mengingat catatan sejarah menyebutkan bahwa Khalifah Usman bin Affan (577–656 Masehi) pernah mengirim utusan pertama ke Tiongkok pada masa Dinasti Tang.
Peristiwa ini tercatat dalam naskah Jiu Tang Shu (Buku Dinasti Tang). Sejak itu, kaum Muslim Tiongkok mulai datang ke Nusantara melalui jalur perdagangan sambil menyebarkan ajaran Islam.
Selain itu, Laksamana Cheng Ho, seorang penjelajah Muslim dari Tiongkok pada masa Dinasti Ming sekitar tahun 1400-an Masehi, juga memainkan peran penting dalam membangun hubungan antara Tiongkok dan Nusantara.Seperti halnya Christopher Columbus dan Ibnu Battuta, Cheng Ho melakukan pelayaran ke berbagai wilayah, termasuk ke wilayah Indonesia.
Dalam pelayarannya, ia tidak hanya mempererat hubungan diplomatik, tetapi juga menyebarkan Islam dan meninggalkan jejak komunitas Muslim di beberapa daerah seperti Palembang, Surabaya, dan sekitarnya.
Dia menjelaskan dalam berbagai literatur, disebutkan pula bahwa sebagian dari Wali Songo, para penyebar Islam di Jawa pada abad ke-15 Masehi, merupakan keturunan Tionghoa.
Hal ini terlihat dari nama-nama asli mereka yang menunjukkan pengaruh budaya Tiongkok, antara lain:
Sunan Ampel dikenal sebagai Bong Swie Hoo; Sunan Kudus dikenal sebagai Ja Tik Su; Sunan Gunung Jati dikenal sebagai Toh A Bo; Sunan Kalijaga dikenal sebagai Gan Si Ceng; Sunan Bonang dikenal sebagai Bong Ang; Raden Fatah dikenal sebagai Jin Bun; Raden Husein dikenal sebagai Kin San.
Pengaruh budaya Tionghoa dalam kehidupan masyarakat Muslim Indonesia juga tampak dalam berbagai aspek kebudayaan, seperti pakaian, bahasa, dan makanan.
Baju koko yang dikenal luas sebagai pakaian Muslim di Indonesia, sebenarnya memiliki kemiripan dengan pakaian pria Tiongkok yang dikenal dengan kerah Shanghai.
Pakaian ini bahkan lebih populer dibandingkan gamis yang berasal dari Arab dan India. Dalam bahasa sehari-hari, istilah-istilah seperti cepek, gopek, dan goceng untuk menyebut jumlah uang, juga berasal dari bahasa Tionghoa.
Demikian pula dalam hal makanan, berbagai kuliner seperti bakmi, bakso, bakpau, siomay, dan bakpia menunjukkan akulturasi budaya yang erat antara Tiongkok dan Indonesia.
Hubungan tersebut semakin kuat pada masa modern, khususnya saat Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tahun 1955. Dalam kesempatan tersebut, Perdana Menteri Tiongkok, Zhou Enlai, membawa Wakil Ketua Persatuan Islam Tiongkok, Da Pusheng, serta membawa salinan konstitusi Tiongkok dalam bahasa Arab.
Zhou Enlai juga melakukan lobi kepada Pangeran Faisal dari Arab Saudi agar jamaah haji dari Tiongkok dapat langsung berhaji ke Mekkah tanpa harus melalui negara lain, dan lobi ini berhasil.
Hal ini memperlihatkan betapa eratnya hubungan antara umat Islam di Tiongkok dan dunia Islam, termasuk Indonesia. Semua bukti dan catatan tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara Tiongkok dan Indonesia, khususnya antara umat Islam di kedua negara, telah terjalin sejak abad ke-7 Masehi dan terus berlangsung hingga saat ini.
Dia berharap, hubungan Indonesia Tiongkok yang sudah 75 tahun, terus terjalin dengan erat, apalagi Perdana Menteri China baru saja datang ke Indonesia, bertemu Presiden Prabowo.(m19)