MEDAN (Waspada.id): Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) kembali menggulirkan kebijakan besar yang patut mendapat perhatian publik.
Pemprovsu berencana menyerahkan tiga aset daerah, kantor Disperindag/ESDM, areal PRSU, serta lahan eks Medan Club senilai Rp457 miliar sebagai penyertaan modal kepada Bank Sumut.
Langkah ini, yang disampaikan Pemprovsu melalui Wakil Gubernur, diklaim sebagai strategi menjaga kepemilikan saham 51 persen sekaligus mendukung transformasi Bank Sumut menuju KBMI 2.
Menanggapi hal tersebut, pengamat anggaran dan kebijakan publik, Elfenda Ananda menyebut rencana penyerahan aset ini justru berpotensi menimbulkan masalah bagi Pemprovsu maupun Bank Sumut sendiri.
Hal itu ditegaskan Elfenda kepada Waspada.id di Medan, Selasa (18/11/2025).
Pertama, bagi Pemprov Sumut, penggunaan aset berupa Gedung Medan Club tidak sesuai dengan dokumen perencanaan saat aset tersebut dibeli.
Ketidaksesuaian ini menunjukkan lemahnya perencanaan aset, karena sejak awal lahan itu dibeli untuk mendukung perluasan kantor Gubernur Sumut dan integrasi beberapa OPD demi peningkatan koordinasi serta kualitas pelayanan publik.
Eks Medan Club, yang dibeli pada era Gubernur Edy Rahmayadi dengan nilai hampir setengah triliun rupiah, kini hanya dimanfaatkan sebagai lahan parkir. Bangunannya dibiarkan kosong tanpa fungsi yang jelas.
Padahal pembelian aset itu dahulu disebut “mendesak” untuk kepentingan memperluas kantor Gubernur dan konsolidasi OPD.
“Ketika aset yang belum dimanfaatkan sesuai tujuan awal ini tiba-tiba dialihkan ke Bank Sumut, muncul pertanyaan mendasar: apakah pembelian tersebut benar-benar berdasarkan kebutuhan, atau justru bentuk salah perencanaan yang kini ditutupi dengan kebijakan baru?,” kata Elfenda.
Kedua, rencana pengalihan aset khususnya eks Medan Club menggambarkan lemahnya perencanaan jangka panjang Pemprovsu.
Perubahan kebijakan yang drastis dalam waktu singkat menunjukkan ketiadaan roadmap pemanfaatan aset daerah yang komprehensif.
Pada tahun 2022, Pemprovsu menegaskan pentingnya lahan tersebut untuk pelayanan publik, namun pada 2025 aset yang sama justru dianggap lebih bernilai sebagai instrumen penyertaan modal.
“Ketidakkonsistenan ini merusak kepercayaan publik dan menunjukkan bahwa tata kelola aset daerah berjalan reaktif, bukan strategis,” ungkapnya.
Ketiga, persoalan valuasi aset tidak bisa diabaikan. Aset sebesar eks Medan Club memiliki nilai pasar yang fluktuatif. Tanpa appraisal independen yang terbaru, Pemprovsu bisa menyerahkan aset dengan nilai yang tidak akurat baik terlalu tinggi maupun terlalu rendah.
“Hal ini berpotensi memunculkan temuan audit BPK atau persoalan hukum di kemudian hari,” ucapnya.

Elfenda menyebut penyertaan modal berupa aset non-likuid juga memunculkan pertanyaan: apa sebenarnya kebutuhan Bank Sumut modal tunai atau tanah dan bangunan?
Keempat, tiga aset yang akan dialihkan bukan aset biasa. PRSU memiliki nilai historis dan fungsi publik. Kantor Disperindag/ESDM memikul pelayanan teknis langsung kepada masyarakat.
“Pengalihan aset semacam ini berpotensi mengganggu layanan publik serta menghilangkan peluang ekonomi daerah yang semestinya tetap berada dalam kontrol pemerintah,” ucapnya.
Kelima, minimnya transparansi membuat rencana ini semakin bermasalah. Publik tidak memperoleh dokumen analisis kelayakan, penilaian risiko, maupun rencana pemanfaatan aset oleh Bank Sumut.
Padahal penyerahan aset daerah bukan sekadar urusan administratif, tetapi keputusan politik yang berdampak panjang.
“Tanpa partisipasi publik dan keterbukaan informasi, kebijakan sebesar ini mudah dipersepsikan sebagai langkah terburu-buru atau bahkan mengandung kepentingan tertentu,” tandasnya.
Risiko Bagi Bank Sumut
Elfenda juga menyebut bahwa rencana ini juga membawa risiko nyata bagi Bank Sumut, terutama terkait penurunan kinerja keuangan dan efisiensi operasional:
- Perkiraan Kerugian Menurunkan Kinerja Bank
- Bank harus mencadangkan dana untuk mengantisipasi potensi kerugian atau penurunan nilai aset yang diterima.
- Peningkatan pencadangan memperbesar beban, sehingga laba operasional menurun dan kinerja bank melemah.
- ROA (Return on Assets) Berpotensi Menurun
- ROA mengukur kemampuan bank menghasilkan laba dari total aset.
- Laba yang menurun akibat peningkatan beban membuat ROA otomatis turun, sementara aset bertambah namun tidak produktif.
- Penurunan ROA menandakan bank menjadi kurang efisien.
- Beban Penyusutan Menggerus Profit
- Aset tetap seperti gedung atau lahan mengalami penyusutan atau bahkan penurunan nilai (impairment).
- Beban penyusutan ini langsung mengurangi profit bank.
- Aset Tidak Dapat Dimanfaatkan (Bukan Core Business)
- Aset yang tidak terkait kegiatan inti bank akan menjadi aset menganggur.
- Bank tidak memiliki kapasitas atau izin untuk mengelola properti (misalnya menyewakan).
- Aset menganggur menimbulkan biaya—pemeliharaan, pajak—tanpa menghasilkan pendapatan, sehingga semakin membebani profitabilitas dan efisiensi bank.
Kesimpulan: Rencana penyerahan aset ini menuntut transparansi penuh dan klarifikasi komprehensif:
• Mengapa aset strategis seperti eks Medan Club, yang belum diwujudkan sesuai tujuan pembeliannya, justru hendak diserahkan ke Bank Sumut?
• Mengapa tidak ada penjelasan ilmiah dan analisis kelayakan atas langkah yang disebut “strategis” oleh Wakil Gubernur?
• Bagaimana dampak jangka panjang bagi Pemprov Sumut atas hilangnya aset strategis dan bagi Bank Sumut yang terancam mengalami penurunan kinerja karena ROA turun dan beban penyusutan meningkat?
Elfenda mengingatkan sebelum kebijakan ini disahkan DPRD, publik berhak mendapatkan jawaban. Mengalihkan aset daerah bukan sekadar memindahkan kepemilikan, melainkan keputusan besar yang akan tercatat dalam sejarah pengelolaan keuangan Sumatera Utara.

Keputusan sebesar ini membutuhkan penjelasan yang sama besarnya—mengapa penyerahan aset dapat dilakukan begitu mudah.
DPRD Sumut tidak boleh menjadi “stempel politik”, tetapi harus tampil sebagai pengawas yang tegas dan objektif.
DPRD justru memiliki tanggung jawab moral karena lembaga ini pula yang sebelumnya menyetujui pembelian eks Medan Club dalam APBD.
“DPRD harus memastikan setiap aset daerah dikelola dengan penuh kehati-hatian. Sekali aset berpindah tangan, tidak mudah untuk kembali dan jika keputusan ini salah arah, seluruh beban pada akhirnya akan dipikul masyarakat,” demikian Elfenda Ananda, peneliti dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Sumatera Utara ini. (id96)












