MEDAN (Waspada.id): Respons pemerintah terhadap banjir dan longsor di Aceh, Sumut dan Sumbar kembali membuka luka lama: negara tampak selalu terlambat, selalu terkejut, selalu kehilangan kecepatan pada saat publik justru berada di titik paling rapuh.
Hal itu dikatakan Farid Wajdi, founder Ethics of Care juga Anggota Komisi Yudisial 2015-2020 kepada Waspada.id, Selasa (2/12/2025).
Padahal, kata Farid, peringatan cuaca ekstrem telah diumumkan jauh hari, prediksinya jelas, risikonya terukur, dan potensi dampaknya dapat diramalkan. “Namun ketika air naik dan tanah runtuh, pemerintah daerah bergerak seperti baru mengetahui informasi tersebut lima menit sebelumnya,” ungkapnya.
Farid kembali menegaskan bahwa sinyal bahaya sudah berkali-kali diberikan, tetapi tidak diubah menjadi tindakan nyata. “Peta risiko tenggelam dalam rutinitas birokrasi, sementara warga menunggu bantuan yang tak kunjung tiba,” tuturnya.
Keterlambatan distribusi logistik tidak lahir dari kekacauan semata, tetapi dari absennya koordinasi otoritatif sejak awal. Rantai komando yang seharusnya lugas justru terjebak dalam saling tunggu antara pemerintah daerah dan pusat.
Akibatnya, lanjut Farid, jam-jam kritis terbuang tanpa intervensi. Bukan bencana yang menciptakan kelaparan, melainkan lambannya respons negara.
Ketika korban banjir mendobrak minimarket demi mencari makanan, tindakan itu sebetulnya bukan penjarahan, tetapi pernyataan bahwa institusi penyelamat tidak datang.
‘Warga bertahan dengan caranya sendiri karena negara tidak hadir ketika dibutuhkan. Publik menyaksikan bukan kecemasan, melainkan kegagalan struktural,” tandasnya.
Kerusakan Ekologis
Farid pun menyebut situasi ini menjadi semakin memprihatinkan ketika fakta lapangan menunjukkan kerusakan ekologis yang masif di hulu. Sungai membawa gelondongan kayu dengan bekas potongan mesin: bukti telanjang pelanggaran yang dilakukan dalam skala industri.
Tidak ada batang tumbang alami yang patah acak, tidak ada ranting tersisa, hanya potongan rapi yang memperlihatkan operasi pembalakan berjalan tanpa kendali.
Pejabat yang menyatakan longsor terjadi murni akibat hujan ekstrem seolah meremehkan kecerdasan publik. “Narasi tersebut tidak hanya janggal, tetapi juga menyingkap pola defensif birokrasi yang memilih menutupi kerusakan struktural daripada mengakui kegagalan tata kelola lingkungan,” ujarnya.
Organisasi lingkungan sudah mengidentifikasi perusahaan-perusahaan yang diduga merusak bentang alam di Tapanuli. Informasi itu beredar luas, tetapi negara tidak menunjukkan ketegasan seimbang. Investigasi menyeluruh atas asal-usul gelondongan kayu tidak terdengar, penindakan pelaku pembalakan tidak terlihat, dan evaluasi perizinan tidak diumumkan ke publik.
Pemerintah justru sibuk menyusun narasi alam sebagai pelaku tunggal. Respons seperti ini menciptakan kesan negara lebih sibuk menjaga citra pejabat dan korporasi ketimbang menjaga keselamatan warga.
Tata Kelola Tak Pernah Diperbaiki
Secara akademik, jelas Farid, kegagalan ini mencerminkan lemahnya kapasitas institusional dalam menerjemahkan informasi teknis menjadi kebijakan operasional.
Peringatan meteorologis tidak pernah kurang; yang kurang adalah kemauan politik untuk memakainya sebagai dasar tindakan. Sistem tanggap darurat terperangkap dalam pola reaktif, bukan preventif.
“Negara menunggu bencana terjadi, lalu menggelar konferensi pers, lalu berjanji mengevaluasi. Siklusnya berulang tanpa pembelajaran. Ini bukan masalah teknis; ini masalah tata kelola yang tidak pernah diperbaiki,” debutnya.
Fenomena kelaparan pascabencana yang diikuti tindakan spontan mengambil bahan makanan memperlihatkan betapa negara gagal memastikan pemenuhan kebutuhan dasar dalam situasi darurat.
“Tindakan warga tidak lahir dari niat kriminal, tetapi dari perut kosong. Ketika bertahan hidup dianggap pelanggaran, sementara kelalaian struktural dibiarkan tanpa konsekuensi, maka runtuhlah moralitas keadilan,” ucapnya.
Negara seharusnya bertanya mengapa warga tidak menerima bantuan, bukan mengapa warga mencari cara bertahan hidup.
Tiada Ketegasan
Banjir dan longsor semestinya dibaca sebagai pesan keras mengenai runtuhnya tata kelola lingkungan dan tanggap darurat. Namun pejabat sering memilih menyangkal realitas, menciptakan narasi yang menutup-nutupi akar masalah, atau melempar kesalahan ke langit.
Padahal, jelas Farid, publik melihat bukti material yang tidak mungkin disangkal: hutan gundul, izin longgar, pengawasan lemah, dan aparat yang tidak mencerminkan ketegasan.
“Jika negara gagal memanfaatkan peringatan dini, gagal mengontrol wilayah hulu, gagal mengamankan rantai pasok bantuan, dan gagal memberikan kepemimpinan di saat krisis, maka tanggung jawab tidak bisa lagi dibagi-bagi,” ujarnya.
Bencana yang terjadi bukan sekadar akibat cuaca; bencana terjadi karena kegagalan politik dalam menjaga ekologi dan kegagalan administratif dalam melindungi warganya.
“Respons negara yang lamban adalah pesan paling telanjang: publik tidak terlindungi bukan karena air datang terlalu cepat, melainkan karena negara bergerak terlalu lambat,” demikian Farid Wajdi.(id96)











