MEDAN (Waspada.id): Farid Wajdi selaku Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, pada Minggu (23/11) menyoroti seleksi pejabat yang gagal sehingga korupsi mengakar.
Dijabarkan, penetapan sejumlah kepala dinas di Medan dan Sumatera Utara sebagai tersangka korupsi kembali menelanjangi ironi besar dalam tata kelola pemerintahan daerah.
Jabatan strategis yang semestinya diisi figur berintegritas justru ditempati sosok yang menyimpan jejak problematik. Peristiwa ini bukan sekadar kisah jatuhnya individu, melainkan potret gamblang kegagalan sistem seleksi dan pembinaan yang sejak awal rapuh, permisif, bahkan oportunistik.
Kasus Kepala Dinas Perhubungan Medan, Erwin Saleh, menjadi contoh telak. Baru beberapa bulan menjabat, namanya terseret dugaan korupsi kegiatan Medan Fashion Festival 2024.
Proyek bernilai sekitar Rp4,85 miliar itu diduga menyebabkan kerugian negara lebih dari Rp1,1 miliar akibat penyimpangan prosedur pengadaan, pemilihan pelaksana tanpa standar teknis memadai, hingga pembayaran yang mengabaikan ketentuan kontraktual.
Posisi Erwin saat proyek berjalan bukanlah pejabat sembarangan, melainkan Pejabat Pembuat Komitmen. Fakta ini menegaskan bahwa praktik bermasalah telah terjadi jauh sebelum pengangkatannya sebagai kepala dinas, namun tetap tak menghalangi promosi jabatan.
Situasi serupa menyelimuti Alexander Sinulingga, Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Utara. Pemeriksaan terhadap dirinya terkait proyek rumah susun di masa jabatan sebelumnya menemukan indikasi penyimpangan sekitar Rp797 juta.
Proyek yang seharusnya menjadi solusi hunian layak bagi masyarakat justru berubah menjadi ladang transaksi mencurigakan. Lebih dari itu, penempatannya di sektor pendidikan menuai tanda tanya besar, mengingat rekam kariernya tidak berakar kuat di dunia pendidikan.
Kontroversi ini mempertegas dugaan bahwa promosi jabatan lebih digerakkan pertimbangan politis ketimbang kecakapan profesional.
Rentetan kasus ini menggugah pertanyaan mendasar: di mana fungsi seleksi integritas? Prosedur seleksi pengangkatan pejabat seharusnya menjadi benteng awal, bukan sekadar seremoni.
Idealnya, seleksi mencakup audit kinerja, telaah proyek terdahulu, penelusuran rekam jejak etika, serta verifikasi independen terhadap potensi konflik kepentingan.
Namun realitas memperlihatkan mekanisme itu sering berhenti pada formalitas administratif, wawancara dangkal, atau bahkan rekomendasi politis yang minim akuntabilitas.
Budaya patronase tampak mendominasi. Loyalitas terhadap penguasa, kedekatan personal, serta kepentingan jaringan kerap mengalahkan prinsip meritokrasi. Jabatan berubah menjadi alat balas jasa, bukan tanggung jawab pelayanan publik.
Dalam iklim seperti ini, figur yang seharusnya tersaring justru melenggang, sementara profesional berintegritas tersisih di pinggiran.
Kelemahan juga tampak pada pengawasan internal. Inspektorat dan badan pengawas tidak diberikan posisi strategis dalam proses pengangkatan pejabat.
Hasil audit sering datang terlambat, ketika kerugian sudah terjadi dan luka kepercayaan publik terlanjur menganga.
Penegakan hukum bergerak reaktif, bukan preventif. Pola ini memelihara siklus berulang: skandal muncul, tersangka ditetapkan, lalu sistem kembali berjalan tanpa perbaikan mendasar.
Korupsi pada level kepala dinas bukan sekadar persoalan hukum, melainkan serangan langsung terhadap kualitas layanan publik.
Dana pembangunan yang seharusnya menopang transportasi, pendidikan, dan perumahan rakyat bocor menuju kepentingan sempit.
Dampaknya kasatmata: fasilitas memburuk, program mandek, dan masyarakat kehilangan hak atas pelayanan layak.
Reformasi menyeluruh menjadi keniscayaan. Standar seleksi harus diperketat melalui uji tuntas berbasis integritas dan rekam jejak.
Audit proyek masa lalu wajib menjadi syarat promosi. Transparansi alasan pengangkatan perlu dibuka ke publik untuk memutus praktik gelap patronase. Inspektorat harus bertransformasi menjadi garda etik, bukan sekadar unit administratif.
Tanpa keberanian memutus rantai seleksi seremonial, tragedi ini hanya akan berganti aktor. Pejabat baru akan mewarisi pola lama, korupsi akan menemukan wajah segarnya, sementara publik kembali menanggung ongkos sosial dan ekonomi.
Birokrasi bersih tak lahir dari slogan, melainkan dari seleksi keras, jujur, dan berani menolak kompromi.(id18)












