Scroll Untuk Membaca

Medan

Sengketa Lahan 300 Ha Di Asahan Memanas, Ketua Komisi A Minta Duduk Bersama

Sengketa Lahan 300 Ha Di Asahan Memanas, Ketua Komisi A Minta Duduk Bersama
Perwakilan PT BSP bersama tokoh masyarakat adat Desa Padang Sari Kecamatan Tinggi Raja Kabupaten Asahan saat meninjau lokasi lahan sengketa, Rabu (8/10). Waspada.id/Ist
Kecil Besar
14px

ASAHAN (Waspada.id): Sengketa lahan seluas 300 hektare di Desa Padang Sari, Kecamatan Tinggi Raja, Kabupaten Asahan, antara masyarakat adat Padang Sari dan PT Bakrie Sumatera Plantation (BSP) semakin memanas. PT BSP diduga tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk mengelola lahan yang diklaim sebagai warisan leluhur masyarakat adat.

Ironisnya, pihak PT BSP berkali-kali merubuhkan posko masyarakat adat. Terakhir, intimidasi dan penyerangan dipimpin oleh Papam PT BSP Letkol (Purn) NR pada Rabu (1/10) dinihari.

Setelah mendapat tekanan dari berbagai elemen masyarakat dan lembaga adat, PT BSP diduga mulai menarik diri dari lahan tersebut. Pantauan di lapangan, Rabu (8/10) menunjukkan bahwa lahan tersebut tidak lagi dikelola, pohon kelapa sawit tidak dipanen, dan sebagian kawasan telah berubah menjadi hutan. Kondisi ini semakin memperkuat dugaan bahwa PT BSP tidak lagi memiliki dasar hak pengelolaan atas tanah tersebut.

Masyarakat adat Padang Sari memiliki bukti historis yang kuat atas kepemilikan lahan tersebut. Di area sengketa, terdapat pohon durian berusia lebih dari 80 tahun dan makam-makam leluhur yang tetap dijaga. Fakta ini menegaskan bahwa kawasan tersebut merupakan bagian dari tanah adat yang diwariskan turun-temurun.

Saat ini, masyarakat mulai memanfaatkan kembali lahan tersebut secara damai dengan membangun pondok, membuat sumur bor, serta menanam pisang, tebu, dan sayur-sayuran. Aktivitas ini merupakan bentuk pemulihan hak dan kedaulatan masyarakat adat atas tanah mereka sendiri.

Lembaga Adat Desa Padang Sari, Rabu (8/10) mendesak pemerintah, khususnya Kementerian ATR/BPN, Pemerintah Kabupaten Asahan, dan aparat penegak hukum, untuk segera turun tangan menyelesaikan konflik agraria ini secara hukum dan terbuka.

Ketua Lembaga Adat Padang Sari, Azri Lubis, menegaskan bahwa negara tidak boleh membiarkan konflik ini berlarut-larut tanpa kepastian hukum. “Kami meminta pemerintah bertindak tegas. Hak masyarakat adat jangan diabaikan. Tanah ini adalah warisan leluhur kami yang memiliki bukti administratif kuat, yaitu SKT Nomor 37 Tahun 1934. Kami tidak ingin ada benturan di lapangan yang dapat menimbulkan korban,” tegas Azri Lubis.

Masyarakat juga menolak segala bentuk aktivitas PT BSP di atas lahan tersebut karena diduga Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan telah berakhir sejak tahun 2022. Hingga kini, belum ada kejelasan status hukum lahan yang disampaikan secara terbuka kepada publik. Sebagai langkah antisipatif, masyarakat bersama lembaga pendamping telah memasang papan peringatan larangan masuk dan menetapkan kawasan tersebut dalam pengawasan hukum adat.

Sementara itu, Ketua Komisi A DPRD Asahan dari Fraksi Partai Golkar, Azmi Hardiansyah Fitrah, S.H., M.Kn., meminta pihak terkait untuk duduk bersama membahas sengketa lahan seluas 300 hektare di Desa Padang Sari, Kecamatan Tinggi Raja, Kabupaten Asahan.
“Sesuai hasil RDP pada Juli 2025 lalu, sebaiknya pihak terkait duduk bersama untuk menyelesaikan sengketa tanah ini,” sebut Azmi, dari Fraksi Golkar ini.

Praktisi hukum Hj Tri Atnuari SH, menilai bahwa posisi hukum masyarakat adat Padang Sari sangat kuat berdasarkan bukti historis dan fakta lapangan. “Apabila benar HGU PT BSP telah berakhir dan tidak diperpanjang sesuai ketentuan, maka secara hukum, lahan tersebut tidak lagi menjadi hak perusahaan. Negara melalui instansi terkait wajib melakukan evaluasi dan memprioritaskan pengembalian tanah itu kepada masyarakat adat sebagai pemilik asal,” ujar Hj Tri Atnuari.

Tri juga menegaskan bahwa jika perusahaan tetap melakukan kegiatan tanpa dasar hukum yang sah, maka dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum dan dapat dilaporkan secara pidana maupun perdata.

Lembaga Adat Padang Sari menegaskan akan terus mengawal proses penyelesaian sengketa ini hingga tuntas, serta meminta PT BSP menghentikan seluruh aktivitas di atas lahan yang masih berstatus sengketa sampai adanya keputusan resmi dari pemerintah dan lembaga hukum berwenang.

Hingga berita ini diterbitkan, pihak manajemen PT Bakrie Sumatera Plantation (BSP) belum memberikan tanggapan resmi. Upaya konfirmasi yang dilakukan melalui berbagai saluran komunikasi belum mendapat respons.

Sejumlah tokoh masyarakat menilai bahwa PT BSP secara moral maupun hukum sudah tidak memiliki legitimasi untuk tetap menguasai lahan tersebut. Publik berharap pemerintah segera memberikan kejelasan status agar tidak muncul anggapan bahwa hukum hanya tajam ke rakyat kecil, tetapi tumpul kepada korporasi besar.

Sementara itu, Kapolres Asahan AKBP Nurvelani ketika dikonfirmasi wartawan via whatsApp menyarankan bila ada dokumen sah, warga bisa menggugat melalui pengadilan agar bisa diproses secara hukum.(id15)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE