Medan

Shohibul Anshor Siregar Sebut Negara Garang Pada Platform Pendidikan, Tapi Gagap Melawan Judol

Shohibul Anshor Siregar Sebut Negara Garang Pada Platform Pendidikan, Tapi Gagap Melawan Judol
Shohibul Anshor Siregar. Waspada.id/isf
Kecil Besar
14px

MEDAN (Waspada.id): Surat peringatan Komdigi kepada 25 PSE, termasuk OpenAI, menuai kritik keras dari akademisi dan analis kebijakan digital, Shohibul Anshor Siregar.

“Langkah ini tidak menunjukkan kecerdasan regulatif, melainkan kebingungan pemerintah membaca arah digitalisasi global,” ujar Siregar kepada Waspada.id, Kamis (20/11/2025).

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Lebih jauh, Siregar menyebut Indonesia terancam menjadi “dhuafa digital” — negara yang miskin kapasitas, lemah dalam penguasaan teknologi, dan bergantung sepenuhnya pada platform asing tanpa kemampuan negosiasi yang berarti.

“Negara hanya mengurusi pendaftaran, bukan masa depan digital bangsanya,” cetusnya.

Menurut Siregar, pemerintah tampak tidak memahami pergeseran besar dalam tatanan digital dunia: kecerdasan buatan, superkomputasi, data governance, cloud sovereignty, dan teknologi keamanan siber menjadi fondasi baru kekuatan ekonomi global.

Namun alih-alih menyiapkan strategi besar, negara justru sibuk mengurus formalitas administratif.

“Mereka mengira pendaftaran PSE adalah indikator kedaulatan digital. Padahal itu hanya ritual birokrasi. Sementara dunia bergerak menuju kompetisi AI, chip, quantum computing, dan data geopolitics. Kita masih mengurus formulir,” tegasnya.

Jadi Dhuafa Digital: “Kita konsumen yang marah-marah, bukan produsen yang dihormati”

Siregar menjelaskan bahwa Indonesia kini berada dalam posisi digital yang lemah: tidak punya platform global, tidak punya pengaruh di percaturan digital dunia, tidak punya perusahaan AI besar, tidak punya pusat riset yang mampu bersaing, dan tidak membangun ekosistem talenta digital secara progresif.

Tetapi negara justru bertindak seolah-olah punya otoritas besar untuk menekan raksasa teknologi dunia.

“Ini ironi. Kita bukan pemain global. Kita bukan produsen teknologi. Kita hanya konsumen yang marah-marah, tetapi tidak menyadari betapa rentannya posisi kita. Itulah yang saya sebut dhuafa digital,” ujarnya.

Menurut Siregar, ancaman memblokir layanan AI besar justru akan memperparah ketertinggalan bangsa.

Judi Online (Judol) Dibiarkan, Platform Pendidikan Disikat

Siregar kembali menyoroti ironi terbesar dalam kebijakan digital pemerintah: judi online yang jelas kriminal berulang kali lolos dari pemblokiran, sementara platform edukatif dan riset diancam diberangus jika telat mendaftar.

“Ini tragedi prioritas. Pemerintah tidak berdaya menghadapi judi online, tapi tegas terhadap platform yang justru mencerdaskan rakyat. Keseimbangan moralnya hilang,” kritiknya.

Siregar menyebut kegagalan memberantas judi online sebagai kelalaian moral negara.

“Melawan kekuatan kriminal siber saja tidak mampu, bagaimana mau bicara kedaulatan digital?”

Siregar mempertanyakan legitimasi moral pemerintah merumuskan kedaulatan digital jika masalah paling dasar digitalisasi — seperti judi online, penipuan digital, kebocoran data, ransomware, dan perdagangan data ilegal — saja tak bisa diatasi.

“Ketika rakyat habis-habisan karena judi online, negara tidak menunjukkan kehadiran. Tapi ketika platform besar belum mendaftar, negara tiba-tiba gagah. Ini bukan kedaulatan digital — ini fatamorgana digital,” ujarnya.

Regulasi yang Administratif, Tapi Tidak Visioner

Siregar menilai pemerintah gagal membaca arah: AI global yang terkonsentrasi pada segelintir negara, perang chip antara AS–Tiongkok, geopolitik data, infrastruktur cloud yang menentukan kekuatan digital suatu bangsa, serta digital capacity gap antara negara maju dan negara berkembang.

Indonesia, kata dia, tidak menempatkan diri dalam peta global itu.

“Dunia bergerak ke arah integrasi AI sebagai tulang punggung ekonomi. Kita tidak mengejar itu. Kita sibuk dengan daftar-daftar administratif. Kita benar-benar berisiko menjadi bangsa yang hidup dalam ketertinggalan digital abadi,” tegasnya.

“Negara tidak menyadari bahwa rakyat sedang tertinggal jauh dalam kompetisi global”.

Siregar menilai posisi Indonesia sangat rentan: kualitas talenta digital tertinggal, riset AI minim, infrastruktur komputasi.(id96)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE