Oleh: Farid Wajdi
Setiap kali banjir bandang dan longsor menelan permukiman di Sumatera, diskursus publik selalu terhenti pada frasa yang sama: cuaca ekstrem.
Padahal hujan bukan aktor kriminal yang datang tiba-tiba menghancurkan desa; hujan hanya memperlihatkan kondisi ekologis yang sudah rapuh sejak lama.
Pernyataan resmi yang berkutat pada curah hujan tinggi terdengar seperti formula birokrasi yang tidak lagi memadai membaca realitas.
Ketika arus air surut, masyarakat bukan melihat “fenomena alam”, melainkan jejak-jejak industri: potongan kayu polos dengan bekas gergaji mesin, seperti yang terekam dalam liputan Tempo (2025) dan diperkuat jurnalisme visual CNN Indonesia (2025) serta KompasTV (2025).
Kayu-kayu itu tidak jatuh sendiri. Alam tidak pernah menebang pohon dengan presisi pabrik pembalakan.
Kontradiksi antara narasi pejabat dan bukti di lapangan semakin mencolok. Ketika seorang pejabat militer menjelaskan kepada media longsor murni akibat hujan, publik mendengar bukan penjelasan, tetapi pengaburan.
Visual yang beredar memperlihatkan potongan kayu tanpa dahan, terpotong rapi, dan bergerak seperti konvoi bukti yang tidak bisa dibantah. Hujan tidak memproduksi bentuk sebersih itu.
Lapisan retoris yang terus menempatkan atmosfer sebagai terdakwa utama justru menyingkap problem akut: ketakutan untuk menyebut pelaku yang sebenarnya memiliki kuasa, izin, dan akses politik.
Kegagalan Tata Kelola
Laporan Greenpeace yang dikutip IDN Times (2025) dan Intime (2025) menyebut banjir besar sebagai produk “curah hujan ekstrem yang memperparah deforestasi sistematis”.
Pernyataan tersebut menggambarkan bencana bukan sebagai insiden mendadak, tetapi sebagai konsekuensi dari keputusan manusia. Analisis Badan Geologi yang diberitakan CNBC Indonesia (2025) memang mencatat pengaruh siklon dan dinamika atmosfer, tetapi faktor meteorologis tidak pernah menjadi ancaman fatal bagi wilayah yang memiliki penyangga ekologis kuat.
Hermawan dari ITB, melalui wawancara yang dikutip NaraTimes (2025), menjelaskan hujan hanya menjadi bencana ketika hulu sungai kehilangan vegetasi pemegang tanah. Pandangan ini tidak hanya teknis, tetapi epistemik: bencana adalah indikator kegagalan tata kelola, bukan semata curah hujan.
Ketika narasi defensif lebih dominan daripada investigasi serius, negara memperlihatkan lemahnya otoritas moral dan administrasi. Alih-alih membongkar rantai pelanggaran, pejabat justru mengulang pola komunikasi lama, penjelasan normatif, penyederhanaan masalah, dan penghindaran dari inti persoalan.
Liputan RRI (2025) mengilustrasikan pola tersebut melalui pernyataan pemerintah pusat yang menekankan “kerentanan lahan” tanpa satu pun agenda investigasi terhadap asal-usul kayu gelondongan.
Padahal bukti material berada tepat di depan mata, mengalir bersama banjir, menolak dibungkam oleh narasi cuaca.
Secara hukum, negara tidak kekurangan instrumen. UU Kehutanan, aturan perlindungan DAS, mekanisme AMDAL, dan evaluasi perizinan menawarkan perangkat yuridis yang cukup untuk mencegah kejahatan ekologis. Namun tanpa keberanian politik, hukum hanya menjadi prosedur administratif yang dapat dinegosiasikan.
Dalam praktiknya, penindakan sering berhenti di pelaku teknis, bukan pemilik modal ataupun pejabat pemberi izin. Kompas (2025) mencatat pemanggilan Komisi IV DPR terhadap kementerian teknis untuk meminta klarifikasi terkait kayu gelondongan yang berserakan di jalur banjir.
Tindakan ini memperlihatkan adanya ketidakjelasan pengawasan dan mungkin menunjukkan celah yang telah dimanfaatkan selama bertahun-tahun.
Masalah yang lebih mendasar muncul: negara cenderung memperlakukan bencana ekologis sebagai peristiwa sporadis, bukan sebagai implikasi dari kebijakan struktural.
Padahal banjir dan longsor adalah cermin dari tata kelola yang gagal mengendalikan hasrat ekstraksi. Ketika pemerintah menormalisasi bencana sebagai “musiman”, ia sedang menyingkirkan fakta sebagian besar tragedi adalah akumulasi dari konsesi yang dikeluarkan, pengawasan yang lemah, serta kompromi politik yang melindungi industri perusak hutan.
Bukan Bencana, Tapi Konsekuensi
Pertanggungjawaban dalam konteks ini tidak dapat diikat pada faktor alam yang abstrak. Subjek pertanggungjawaban adalah manusia dan institusi yang membuat atau membiarkan keputusan berjalan.
Penerbit izin yang longgar, pemilik konsesi yang tidak merehabilitasi area kerja, aparat daerah yang tidak melakukan pengawasan, dan lembaga penegak hukum yang gagal menindak pembalakan ilegal: semua memikul tanggung jawab politis dan yuridis.
Negara, melalui pemerintah pusat dan daerah, memikul tanggung jawab moral karena tidak menjaga infrastruktur ekologis yang menjadi syarat keselamatan warganya.
Ketajaman masalah ini terlihat jelas: ketika hutan hilang, banjir bukan bencana, tetapi konsekuensi. Ketika pejabat menutup mata terhadap bukti, yang tergerus bukan hanya tanah, tetapi juga legitimasi politik.
Ketika aparat tidak menindak aktor utama di balik deforestasi, negara sedang membiarkan kejahatan ekologis berjalan dengan impunitas.
Jika pola ini terus berulang, Sumatera hanya akan bergerak dari satu tragedi ke tragedi berikutnya, sementara masyarakat terus dipaksa percaya hujan adalah musuh utama.
Di sinilah inti persoalan yang paling politis: bencana ekologis bukan semata soal alam yang berubah, melainkan soal keberanian politik untuk menghentikan rantai keuntungan yang bersumber dari kerusakan.
Tanpa pengakuan jujur terhadap masalah struktural, tidak ada reformasi kebijakan yang mungkin lahir. Tanpa reformasi itu, tidak ada jaminan korban berikutnya tidak akan jatuh.
Penulis adalah Founder Ethics of Care, Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, dan Dosen UMSU.











