MEDAN (Waspada.id): Program Universal Health Coverage (UHC) yang diluncurkan sejak akhir tahun 2022 oleh Pemko Medan sampai saat ini masih belum berjalan maksimal.
Kondisi di lapangan, masyarakat yang hendak berobat ke puskesmas atau rumah sakit hanya dengan menggunakan KTP sering mengeluh ke anggota dewan, kalau pihak rumah sakit selalu mengatakan bahwa kamar penuh saat masyarakat seharusnya opname.
“Katanya berobat gratis, namun kamar sering tidak ada. Namun kalau bayar kamarnya ada,” tegas anggota DPRD Medan Afif Abdillah di hadapan ribuan konstituennya saat menyosialisasikan Perda IX Tahun 2025 No.4 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Kota Medan di Jalan Bajak V, Lingkungan VIII, Kelurahan Harjo Sari II, Kecamatan Medan Amplas, Minggu (14/9/2025).
Untuk itu, Perda Sistem Kesehatan Kota Medan, tahun ini akan direvisi.
“Kebetulan saya di Bapemperda, InsyaAllah kita akan menyegerakan revisi tersebut. Lalu, yang kedua, program kesehatan ini benar-benar sampai ke masyarakat. Ke depan kita tidak mau lagi mendengarkan pihak rumah sakit menyatakan kamar tidak ada. Padahal sebenarnya jika kelas III sedang penuh, makan kelas II bisa digunakan,” katanya.
Ketua Fraksi Partai NasDem DPRD Medan yang duduk di Komisi II tersebut ini mengatakan, ke depannya mulai Desember 2026, di rumah sakit akan diadakan hanya satu kelas oleh BPJS Kesehatan. Jadi tidak ada lagi kelas I, II dan III. “Oleh karena itu kita akan mendorong pihak rumah sakit agar lebih banyak menyediakan kamar. Jangan kalau rawat jalan ada, saat giliran butuh opname kamar malah tidak ada,” kata Afif yang juga Ketua DPD Partai NasDem Kota Medan itu.
Selain itu, banyak juga warga yang opname setelah tiga hari dipulangkan oleh pihak rumah sakit. “Masih gemetaran disuruh pulang, baru sampai di lokasi parkir, pasiennya pingsan,” tegas Afif.
Sebenarnya, masih Afif, BPJS Kesehatan membolehkan pasien dipulangkan saat sudah sembuh, bukan saat masih sakit dipulangkan. Tapi pihak rumah sakit banyak yang nakal. Kenapa? Saat warga sakit kena demam berdarah, misalnya, BPJS Kesehatan membayar ke rumah sakit bukan per hari, per nginep, melainkan per paket. Misalnya DBD paketnya Rp15 juta, dan dibayarkan ke rumah sakit. Jika pasien dipulangkan cepat tentu saja pihak rumah sakitnya yang untung.
“Ini banyak kejadian, karena tidak ada pengawasan. Tidak ada pengawasan dan tidak ada tempat melapor. Ke depan kita akan buat sistemnya tidak lagi seperti itu,” pungkas Afif. (id23)