Scroll Untuk Membaca

Medan

Stop MBG, Selamatkan Anak Bangsa!

Stop MBG, Selamatkan Anak Bangsa!
Farid Wajdi. Waspada.id/ist
Kecil Besar
14px

MEDAN (Waspada.id): Farid Wajdi selaku Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020 menyampaikan Stop Makan Bergizi Gratis (MBG) selamatkan anak bangsa, pada Minggu (5/10).

Dipaparkannya, gelombang keracunan massal akibat Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kini menjelma dari insiden sporadis menjadi tragedi kebijakan publik berskala nasional.

Korban terus bertambah—lebih dari 9.000 anak dilaporkan jatuh sakit di berbagai daerah, dari Sumatera hingga Sulawesi. Laporan demi laporan menunjukkan pola yang seragam: anak-anak tumbang setelah menyantap makanan yang seharusnya menyehatkan mereka.

Ironi ini bukan hanya mengguncang nurani publik, tetapi juga menggugat akal sehat dan tanggung jawab negara terhadap warganya yang paling rentan.

Kementerian Kesehatan memang telah menetapkan sejumlah daerah sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Namun langkah itu terasa seperti tambal sulam administratif yang datang terlambat.

Pemerintah berkilah penetapan KLB tidak otomatis menghentikan program secara nasional—seolah ingin menegaskan “program unggulan negara” tak boleh terganggu oleh insiden yang disebut “lokal.”

Padahal, ketika ribuan anak menjadi korban, istilah “lokal” kehilangan relevansi moral dan logika kebijakan. Ini bukan lagi persoalan teknis, melainkan kegagalan sistemik yang menuntut evaluasi menyeluruh. Skala penderitaan ini sudah cukup untuk menekan tombol jeda: moratorium nasional MBG adalah langkah paling masuk akal, rasional, dan bermartabat sebelum korban bertambah.

Niat Baik, Eksekusi Buruk

Tak ada yang meragukan niat baik di balik program MBG. Visi menekan angka stunting, memperbaiki gizi anak sekolah, dan menutup kesenjangan nutrisi jelas mulia. Namun niat baik tanpa kesiapan hanya melahirkan kebijakan sembrono.

Negara tidak boleh memperlakukan jutaan anak sebagai bahan uji coba kebijakan yang belum matang.

Peluncuran MBG dilakukan dengan gegap gempita, namun tanpa kesiapan logistik yang kuat, tanpa uji distribusi yang layak, dan tanpa pengawasan mutu yang ketat.

Di banyak daerah, dapur umum dikelola seadanya, bahan makanan disimpan di tempat tak higienis, dan distribusi dilakukan tanpa rantai dingin.

Akibatnya, niat memberi gizi justru berubah menjadi wabah penyakit. Kebijakan yang seharusnya melindungi anak-anak malah menjadi ancaman dalam seragam kebajikan.

Ombudsman Republik Indonesia bahkan menyebut kondisi ini sebagai “darurat MBG”—istilah yang seharusnya mengguncang kesadaran publik dan pemerintah. Namun setiap hari yang berlalu tanpa koreksi berarti satu hari tambahan bagi potensi korban baru.

Pertanyaan publik kini menggigit nurani: apakah 9.000 anak sakit belum cukup untuk menghentikan program ini sementara? Atau negara harus menunggu korban jiwa agar sadar sistem ini cacat sejak perencanaan?

Dari Kegagalan Teknis ke Pelanggaran Hak

Lambannya respon pemerintah kini tak bisa lagi dianggap sekadar kelalaian teknis, melainkan telah masuk wilayah pelanggaran hak asasi manusia.

Dalam perspektif hak atas kesehatan, pembiaran terhadap risiko yang sudah diketahui adalah bentuk negligensi negara (state negligence).

Bila pemerintah tahu rantai pasok rawan, tetapi tetap melanjutkan program tanpa koreksi berarti, maka tanggung jawab moral dan hukum tak terelakkan.

Anak-anak bukan angka statistik dalam laporan pembangunan, melainkan warga negara yang hak hidup dan kesehatannya dijamin konstitusi.

Karena itu, moratorium nasional MBG bukan tanda kegagalan politik, tetapi tindakan etis untuk menyelamatkan generasi muda. Pemerintah perlu membentuk audit independen atas seluruh rantai pengadaan, produksi, dan distribusi makanan, melibatkan lembaga nonpemerintah dan masyarakat sipil.

Publik berhak tahu di mana letak keretakan sistem yang seharusnya menjaga anak-anak mereka tetap sehat.

Jeda Bukan Kekalahan

Tragedi MBG adalah cermin buram tata kelola pemerintahan: ketika ambisi politik menyalip kehati-hatian, dan pencitraan dianggap lebih penting dari keselamatan rakyat. Ini bukan sekadar soal makanan basi, melainkan tentang negara yang kehilangan empati terhadap penderitaan warga kecilnya.

Tugas negara bukan mempertahankan program, melainkan melindungi rakyat. Air mata, belasungkawa, atau janji perbaikan tidak cukup.

Jika keselamatan anak-anak belum bisa dijamin, maka menghentikan MBG sementara adalah keputusan paling waras, paling berani, dan paling manusiawi.

Dalam dunia kebijakan publik, jeda bukan kekalahan—ia adalah bentuk keberanian moral untuk menyelamatkan nyawa.(id18)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE