MEDAN (Waspada.id): Terdakwa kasus pemalsuan surat Lie Yung Ai menilai tuntutan lima tahun yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus pemalsuan surat autentik terhadapnya sangat tidak adil.
Hal tersebut disampaikan Sarma Hutajulu selaku kuasa hukum Lie Yung Ai. Sarma menilai tuntutan lima tahun penjara yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap kliennya tidak adil dan cacat logika hukum.
Pasalnya, dalam kasus yang melibatkan PT Perkharin itu, dua terdakwa lain yang dianggap sebagai pelaku utama justru mendapat hukuman lebih ringan.
Terlebih lagi, kata dia, dalam kasus itu, direktur utama Sonny Wicaksono dan Ade Pinem selaku pihak notaris dijatuhi hukuman 6 bulan dan 1 tahun 6 bulan penjara.
“Kasus yang menimpa klien kami adalah perihal pemalsuan surat. Kasus ini sudah diadili di mana direktur Sonny Wicaksono yang dituduh memalsukan dan menggunakan surat tersebut sudah dituntut 8 bulan dan divonis 6 bulan. Sementara itu, notaris yang membuat surat itu yakni Ade Pinem dituntut 2 tahun dihukum 1 tahun 6 bulan. Sementara ibu ini dituntut 5 tahun dengan pasal turut serta,” kata Sarma, di Pengadilan Negeri (PN) Medan, Kamis (25/9).
Dalam sidang dengan agenda nota keberatan, Lie Yung Ai lewat kuasa hukumnya, Sarma Hutajulu menyampaikan keberatan terhadap tuntutan jaksa. Menurut Sarma, tuntutan 5 tahun penjara terhadap Lie Yung Ai yang merupakan kasir dengan peran membayarkan penerbitan akta yang disebut dipalsukan cacat logika. Bagaimana mungkin seseorang yang turut serta melakukan kesalahan sebut Sarma dituntut lebih tinggi daripada pelaku utama.
“Ini secara logika hukum sangat tidak logis. Bagaimana orang yang disebut turut serta hukumnya lebih berat dari pada pelaku tindak pidana itu sendiri. Dalam pleidoi kami menilai JPU tidak menggunakan logika hukum dalam tuntutannya,” kata Sarma.
Selain itu, hakim disebut tidak cermat dalam membuat dakwaan. Kata Sarma, terdapat perbedaan tahun peristiwa pemalsuan surat dalam kasus yang menjerat Lie.
“Dalam dakwaan ada waktu yang beda beda dalan satu kasus. Untuk kasus Sonny dalam dakwaan katanya tahun 2022, kemudian untuk Ade tahun 2020 sementara itu ibu Ang tahun 2020 artinya ada waktu yang beda dalam satu tindak pidana. Sesuai KUHP 143 kalau tempus delicti tidak jelas ini yang kita sampaikan,” kata Sarma.
“Dan tidak ada kapasitas ibu Ang untuk memalsukan surat dan mempergunakan surat itu kemudian merugikan orang lain
Dia hanya bekerja sebagai kasir yang disuruh membayar surat oleh atasan yang menggunakan uang perusahaan, bukan uang pribadi,” lanjutnya.
Sarma pun berharap agar majelis hakim yang menangani kasus kliennya dapat bersikap adil. Dia meminta agar hakim membebaskan Lie karena perannya hanya sebagai kasir yang membayarkan penerbitan akta berdasarkan suruhan atasnya.
“Ibu ini sudah 20 tahun kerja dan bukan hanya pernah membayarkan tiga akte itu. Makanya kami minta aga hakim menggunakan keputusan secara adil dan jeli melihat kasus ini,” kata Sarma.
Mengutip dakwaan jaksa, Adi Pinem didakwa bersama-sama dengan Lie Yung Ai dan Karim Tano Tjandra diduga telah memalsukan dua akta penting pada tahun 2020 di Kantor Notaris Adi Pinem, Jl. Kolonel Sugiono No 10-B, Medan Maimun.
Pemalsuan diduga dilakukan dengan membuat akta bertanggal mundur, yaitu Akta No. 57 tanggal 29 Oktober 2001 dan Akta No. 58 tanggal 29 November 2001, untuk memberikan legalitas palsu terhadap kepemilikan dan susunan pengurus PT. PERKHARIN.
Proses ini bermula dari pertemuan antara Karim dan saksi Sonny Wicaksono (telah divonis dalam putusan berkekuatan hukum tetap), yang membahas sengketa saham PT. First Mujur Plantation & Industry.
Karim kemudian meminta Adi Pinem membuat akta dengan mencantumkan data fiktif dan tanggal yang dimundurkan, meski akta-akta tersebut tidak memiliki dasar dokumen sah atas kepemilikan saham oleh Karim.(id23)