MEDAN (Waspada.id): Edison Siregar, terdakwa kasus dugaan penipuan dengan modus menggunakan name tag Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), divonis 2 tahun 3 bulan penjara (27 bulan).
Vonis dibacakan oleh Hakim Ketua Rachmawati pada persidangan di Pengadilan Negeri Bandung Kelas 1A Khusus, Senin (8/12). Atas putusan itu, hakim memberikan waktu terdakwa Edison jika ingin mengajukan upaya banding.
Majelis hakim menyatakan, terdakwa Edison terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melakukan penipuan secara bersama-sama, melanggar Pasal 378 KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
“Menjatuhkan pidana oleh karena itu dengan pidana penjara selama dua tahun dan enam bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan,” ucap hakim dalam amar putusan yang dikutip dari laman penelusuran perkara PN Bandung Kelas 1A Khusus, Jumat (12/12).
Dari penuturan para korban, Edison telah melakukan penipuan terhadap seorang pengusaha asal Jakarta. Ia menggunakan name tag Kemendikbud sebagai kedok untuk mencari korban, di antaranya dengan menawarkan bantuan penerimaan dana hibah Asian Development Bank (ADB) kepada SMK yang berminat.
Di sisi lain, pengusaha asal Jakarta berinisial E memberikan apresiasi atas vonis yang dijatuhkan majelis hakim.
“Ya, kita perlu beri apresiasi pada majelis hakim dengan putusan itu, meski masalah ganti rugi antara personal belum terselesaikan,” ucap E.
Korban lainnya berinisial R juga menyampaikan keluhan terkait sikap keluarga terdakwa. Ia mengaku sudah mencoba mengajak keluarga Edison berdialog untuk menyelesaikan utang piutang secara personal, namun respons yang diterimanya justru tak terduga.
“Saya mengajak dialog baik-baik dengan keluarganya. Karena setelah diputus oleh majelis hakim dan dipenjara, tak mungkin bisa ketemu,” kata R.
Menurutnya, saat dikonfirmasi kepada istri terdakwa, Interlerky Napitupuli, ia mendapat jawaban bahwa permasalahan tersebut merupakan urusan pribadi Edison dan bukan tanggung jawab keluarga.
“Ini kan aneh. Yang namanya istri atau suami, kalau ada permasalahan, itu tanggung jawab bersama. Begitu pula sebaliknya,” ucapnya.
R juga mempertanyakan sikap istri terdakwa yang selalu hadir dalam sidang di PN Bandung. “Jika permasalahan suami bukan tanggung jawab keluarga, kenapa setiap sidang ia selalu hadir? Ini kan lucu dan aneh,” tambahnya.
“Kalau toh memang niatnya sudah tertanam niat jahat, ya sudah jelas,” sambungnya.
R turut meluruskan informasi mengenai status pekerjaan terdakwa. “Terdakwa itu bukan pensiunan Dinas PUPR seperti dalam pemberitaan, tapi sebagai pensiunan di Dinas Kementerian Transmigrasi,” tandasnya.(id23)











