MEDAN (Waspada.id): Kasus hibah Rp41 miliar dari Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) kepada Universitas Sumatera Utara (USU) serta lonjakan anggaran proyek jalan dalam APBD 2025 memunculkan tanda tanya besar apakah telah terjadi penyalahgunaan wewenang dalam masa transisi pemerintahan dari Pj Gubernur Agus Fatoni ke Bobby Nasution.
Tim transisi yang dibentuk oleh Gubernur terpilih Bobby Nasution diduga berperan aktif dalam mengubah postur APBD sebelum pelantikan resmi. Langkah ini menimbulkan persoalan serius: konflik kepentingan, lemahnya transparansi, dan kaburnya akuntabilitas fiskal daerah.
Tim Transisi itu antara lain, Rektor USU Muryanto Amin merangkap konsultan politik Bobby Nasution, Yudha Johansyah (mantan Sekretaris Partai Demokrat Sumut, kini diangkat Bobby jadi anggota dewan pengawas Perumda Tirtanadi), Ketua Kadin Sumut Firsal Ferial Mutyara (juga sering disebut Firsal Dida Mutyara) kini diangkat Bobby sebagai Komisaris Utama Bank Sumut, Ricky Pangeran Siregar (keluarga Bobby Nasution/relawan Bobby Lovers), Wahyu Ario Pratomo (Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USU) dan Dikky Anugerah Panjaitan (sebelumnya Sekretaris diangkat Bobby sebagai Plt Kadis Pariwisata hingga saat ini menjabat Kepala Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan (Bappelitbang) Provinsi Sumut. Lalu, Kahfi Aulia adalah Komisaris termuda di PT Kawasan Industri Medan (KIM).
Bobby Nasution, yang kini menjabat sebagai Gubernur Sumut, menyatakan tidak terlibat dalam keputusan hibah tersebut dengan alasan bahwa keputusan diambil saat masa jabatan Pj Gubernur Fatoni.
Namun, hasil penelusuran sejumlah media, menunjukkan hal berbeda. Setelah Pilkada 2024 dimenangkan, Bobby membentuk Tim Transisi yang bekerja intensif menyesuaikan rancangan APBD 2025 dengan visi politiknya.
Tim ini bukan sekadar tim administratif. Di dalamnya terdapat sejumlah nama berpengaruh di kutip dari seperti Rektor USU Muryanto Amin, Yudha Johansyah, Firsal Ferial Mutyara, Ricky Pangeran Siregar, Wahyu Ario Pratomo, dan Dikky Anugerah Panjaitan.
Mereka bekerja dari lantai 10 Kantor Gubernur Sumut hingga larut malam. Dengan komposisi tersebut, sulit menepis dugaan bahwa tim ini tidak hanya menyusun dokumen teknis, melainkan berperan sebagai operator politik untuk mengamankan agenda dan kepentingan jaringan kekuasaan baru.
Dari kerja tim ini, muncul sejumlah pergeseran anggaran signifikan. Anggaran proyek jalan melonjak tajam dari Rp669 miliar pada pergeseran pertama menjadi Rp1,3 triliun pada pergeseran keenam. Di saat yang sama, hibah Rp41 miliar untuk USU tiba-tiba muncul: diusulkan pada Maret 2024, diverifikasi April 2025, dan dicairkan 23 Juni 2025.
Pengamat anggaran dan kebijakan publik juga peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Sumatera Utara, Elfenda Ananda merespon hal itu, Rabu (15/10/2025).
‘’Proses yang janggal ini jelas cacat prosedur, karena hibah dimasukkan di tengah tahun anggaran berjalan dan diduga diusulkan oleh kalangan akademisi yang juga bagian dari tim transisi,’’ ungkapnya.
Ironisnya, kata Elfenda, ketika publik mempertanyakan dana hibah tersebut, Bobby berusaha melepaskan tanggung jawab dengan menyebut bahwa semuanya telah diputuskan sebelum ia menjabat.
Padahal, berbagai sumber internal yang juga dikonfirmasi dalam pemberitaan media menyebut bahwa tim transisi bekerja atas sepengetahuan dan arahan langsung dari Bobby Nasution.
‘’Artinya, perubahan postur APBD 2025 merupakan bagian dari strategi politik transisi kekuasaan, bukan semata kebijakan administratif,’’ ucapnya.
Elfenda pun menyebut masalah ini semakin rumit karena dana hibah itu dikabarkan digunakan untuk menyelesaikan pembangunan Gedung Kolaborasi UMKM Square USU, proyek yang seharusnya telah memiliki sumber pendanaan tersendiri (APBD Medan).
Lebih janggal lagi, ketika ditanya soal hibah tersebut, Gubernur justru membandingkannya dengan proyek hibah untuk Kejaksaan Tinggi Sumut yang nilainya hampir mencapai Rp100 miliar—tanpa memberikan bantahan atas dugaan penyimpangan penggunaan hibah untuk Gedung UMKM.
Sebaliknya, pihak USU menyebut dana hibah itu digunakan untuk kegiatan pendidikan dan riset, bukan pembangunan fisik. Perbedaan keterangan ini menjadi pertanyaan publik mengapa penggunaan dana publik sebesar itu begitu tidak jelas, dan bagaimana bisa anggaran miliaran rupiah dicairkan tanpa kejelasan manfaat maupun urgensinya.
‘’Hubungan antara Pemprov Sumut, Pemko Medan, dan USU di bawah duet Bobby–Muryanto Amin memang sarat tanda Tanya,’’ cetusnya.
Sebelumnya, lanjut Elfenda, proyek Kolam Retensi Dr. Mansyur senilai Rp20 miliar gagal mengatasi banjir, sementara Gedung UMKM USU senilai Rp116–122 miliar tidak juga dimanfaatkan.
‘’Kini, muncul lagi dana hibah Rp41 miliar tanpa laporan akuntabel. Rangkaian peristiwa ini menunjukkan pola pengelolaan proyek yang tidak transparan, tidak terukur, dan rawan disusupi kepentingan pribadi,’’ sebutnya.
Persoalan hibah USU, kata Elfenda, bukan semata soal pelanggaran teknis anggaran, tetapi menyentuh inti moral penyelenggaraan pemerintahan: apakah kekuasaan publik boleh digunakan untuk mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu.
Dalam konteks ini, lanjutnya, pembentukan tim transisi telah keluar dari fungsi idealnya, alih-alih menjembatani transisi administratif, justru berubah menjadi alat politik untuk mengamankan akses anggaran bagi jejaring kekuasaan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seharusnya mencermati pola ini secara serius. Lonjakan proyek jalan dan hibah USU bukan sekadar anomali fiskal, tetapi refleksi dari budaya korupsi politik model baru yang dibungkus dengan dalih kebijakan transisi.
‘’Ketika keputusan anggaran dibuat bukan atas dasar kepentingan publik, melainkan loyalitas tim transisi, maka otonomi daerah kehilangan makna akuntabilitasnya,’’ ujar Elfenda.
Krisis tata kelola keuangan daerah semakin nyata ketika diketahui pergeseran anggaran dilakukan tanpa mekanisme formal DPRD. Dicatat dalam peristiwa rapat paripurna Ranperda Perubahan APBD 2025 (17/9/2025), anggota Fraksi PDIP Syahrul Efendy secara terbuka menyatakan keberatan karena pergeseran tersebut dilakukan di luar forum resmi Badan Anggaran.
‘’Atas kondisi ini, Pemprovsu harus diaudit secara terbuka atas seluruh hasil pergeseran APBD 2025, termasuk alokasi hibah USU. BPK RI juga perlu melakukan audit menyeluruh dari sisi administrasi, sementara Jaksa Penuntut Umum (JPU) perlu membuka sprindik baru untuk menelusuri aspek hukumnya,’’ harapnya.
Majelis hakim juga diharapkan memperluas pemeriksaan sidang OTT agar tidak berhenti pada proyek jalan semata, tetapi menelusuri akar sistemik lemahnya tata kelola keuangan daerah.
DPRD Sumut harus tegas menjalankan fungsi pengawasannya, bukan sekadar menjadi penonton di pinggir arena politik anggaran.
Adapun bagi Gubernur Bobby Nasution, klarifikasi semata tidak cukup. Ia harus membuktikan bahwa tidak ada intervensi kepentingan pribadi dalam setiap rupiah pergeseran anggaran yang dilakukan oleh timnya.
‘’Jika praktik semacam ini terus dibiarkan, maka “transisi kekuasaan” di daerah akan selalu bermuara pada transaksi anggaran,’’ jelasnya.
Publik Sumatera Utara berhak menuntut pemerintahan yang jujur, transparan, dan berpihak pada kepentingan rakyat bukan pada lingkaran kecil kekuasaan, demikian Elfenda Ananda.
Hingga berita ini diturunkan, Gubsu Bobby Nasution belum merespon. Whatsapp yang dikirim waspada.id centang dua, belum dibalas. (id96)