Scroll Untuk Membaca

Medan

Trotoar Medan Simbol Peradaban Yang Terlupakan

Trotoar Medan Simbol Peradaban Yang Terlupakan
Farid Wajdi. Waspada.id
Kecil Besar
14px

MEDAN (Waspada.id): Di tengah riuhnya lalu lintas Kota Medan, pejalan kaki seperti menjadi warga kelas dua. Ruang yang seharusnya menjadi hak mereka—trotoar—tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Jalur pedestrian yang idealnya aman, nyaman, dan ramah, kini justru menjelma menjadi ranjau berlubang, tempat parkir liar, hingga lapak dagangan yang menutup akses.

Kota ini tampak sibuk mengejar predikat metropolitan, tetapi ironisnya, lupa bahwa peradaban modern selalu dimulai dari pijakan paling dasar: ruang bagi kaki warganya. Demikian disampaikan Farid Wajdi selaku Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, pada Minggu (27/7).

Disebutkan, kondisi trotoar di Medan, faktanya, memang berada pada titik nadir. Di berbagai ruas jalan utama, mulai dari kawasan pusat kota hingga jalan sekitar pasar tradisional, trotoar banyak yang tidak rata, penuh lubang, atau bahkan hilang sama sekali karena pembangunan infrastruktur yang tidak disertai perencanaan matang.

Vandalisme dan minimnya perawatan membuat jalur ini semakin jauh dari kata layak. Akibatnya, pejalan kaki terpaksa berjalan di badan jalan, berbagi ruang dengan kendaraan bermotor yang melaju kencang. Situasi ini bukan hanya tidak nyaman, tetapi juga berbahaya.

Bukankah hal ini merupakan bukti nyata bahwa hak publik benar-benar diabaikan?
Lebih parah lagi, trotoar di banyak titik justru beralih fungsi.

Parkir liar mendominasi sepanjang bahu jalan dan jalur pedestrian, terutama di kawasan komersial dan sekitar pasar. Di area permukiman pun, banyak kendaraan roda empat parkir sembarangan hingga menghalangi jalan masuk warga.

Pedagang kaki lima (PKL) menumpuk dagangan di jalur pejalan kaki, bahkan ada trotoar yang dijadikan tempat penumpukan material konstruksi. Fenomena ini menggambarkan dua masalah mendasar: lemahnya pengawasan pemerintah dan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya ruang publik.

Padahal, undang-undang sudah jelas menegaskan bahwa trotoar adalah hak eksklusif pejalan kaki—bukan untuk kendaraan, apalagi sebagai gudang sementara. Tak hanya melanggar hukum, kondisi semrawut ini juga mencoreng citra kota.

Medan terlihat kumuh, tidak teratur, dan jauh dari wajah kota modern yang diidamkan. Jalan-jalan yang penuh parkir liar, PKL, dan material proyek menciptakan kesan bahwa ruang publik adalah wilayah tanpa aturan. Padahal, kota yang benar-benar layak huni adalah kota yang ramah terhadap pejalan kaki.

Trotoar yang baik bukan hanya fasilitas pendukung, melainkan cerminan peradaban urban yang sehat.
Ancaman keselamatan menjadi dampak paling serius. Tanpa trotoar yang layak, pejalan kaki dipaksa beradu nyali di tengah arus kendaraan.

Data kecelakaan di banyak kota besar menunjukkan bahwa pejalan kaki adalah kelompok paling rentan menjadi korban. Di Medan, situasi ini ibarat bom waktu yang setiap saat siap meledak jika tidak segera diatasi.

Apakah pemerintah kota akan terus membiarkan situasi ini berlangsung tanpa solusi?
Sudah saatnya Pemerintah Kota Medan menjadikan trotoar sebagai prioritas pembangunan kota. Revitalisasi jalur pedestrian dengan desain yang aman, rata, estetis, dan ramah disabilitas adalah langkah mendesak.

Trotoar yang terawat akan mengundang warga untuk lebih banyak berjalan kaki, mengurangi ketergantungan pada kendaraan bermotor, mengurai kemacetan, sekaligus meningkatkan kualitas udara.
Penertiban fungsi trotoar juga tidak bisa ditunda lagi.

Parkir liar dan pedagang kaki lima perlu ditangani dengan pendekatan persuasif, bukan sekadar digusur, melainkan ditata dan dipindahkan ke lokasi yang lebih tepat. Pemerintah juga harus melibatkan komunitas warga, aktivis kota, dan kelompok pecinta lingkungan untuk mengawal kebijakan ini agar trotoar tidak kembali dikuasai kepentingan komersial jangka pendek.

Trotoar adalah hak publik paling mendasar. Jika Medan benar-benar ingin menampilkan wajah kota modern, langkah awalnya bukan membangun jalan layang atau pusat perbelanjaan megah, melainkan menata jalur sederhana tempat warganya melangkah.

Trotoar bukan sekadar jalur pejalan kaki; ia adalah simbol penghormatan pada martabat manusia, cermin kepedulian pemerintah pada warganya, dan fondasi dari sebuah kota yang beradab. Demikian Farid Wajdi. (m22)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE